Senin, 22 September 2014

WAHYU NUZUL AL-QUR’AN DAN AHRUF SAB’AH
Oleh : Dian Siswanto[1]



(Mahasiswa Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Program Pasca Sarjana
 IAIN Imam Bonjol Padang)

Key Words : Wahyu, Nuzul al-Qur’an, Ahruf Sab’ah
A.    Pendahuluan
Wahyu dalam keterkaitanya dengan nuzul al-Qur’an merupakan dua hal yang mempunyai kedekatan dalam pembahasanya, yang seterusnya menimbulkan pertanyaan yang cukup urgen untuk dibahas, seperti apakah sebenarnya yang dimaksud dengan wahyu? apa perbedaan antara wahyu yang kemudian disebut sebagai al-Qur’an dan yang kemudian disebut hadits qudsi? Serta bagaimana rasionalitas dapat menjelaskan tentang kebenaran wahyu?. Pembahasan ini menjadi sangat penting untuk ditelaah lebih lanjut, mengingat para orientalis dan missionaris mulai serius mengkritisi ajaran ajaran Islam, khususnya menyangkut keotentikan wahyu dan al-Qur’an.
Sebagai simulasi dalam mendiskusikan persoalan tersebut diatas, saya mencoba menulis makalah sederhana ini untuk kemudian dijadikan sebagai bahan pengantar dalam diskusi seputar wahyu dan nuzul al-Qur’an serta ahruf sab’ah dalam rangka memperluas khazanah sebagai insan qur’ani. Sebagai bentuk upaya agar pembahasan ini lebih terarah, saya mencoba memulai dengan bebarapa sub judul dengan mengacu kepada materi pokok dalam silabus, pada bagian pertama yaitu makna wahyu dari segi etimolgi dan terminolgi, perbedaan wahyu dengan insting, ilham, serta mimpi, cara penyampaian wahyu Allah kepada malaikat dan para nabi serta rasul Allah, bentuk bentuk wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw., menjelaskan urgensi wahyu dari sisi rasionalitas dan realitas kebenaranya. Kemudian pada bagian ke dua   akan dibahas tentang nuzul al-Qur’an, perbedaan makna antara nuzul, inzal dan tanzil, pengertian lauh al-mahfuz, bait al-izza serta keterkaitan Jibril dalam pewahyuan, tunrunya al-Qur’an secara berangsur angsur (munajjaman), nuzul al-Qur’an dengan lail al-Qadar, ayat yang pertama dan terakhir turun, serta pengulangan ayat dalam al-Qur’an (tikrar). Pada bagian ke tiga akan diuraikan seputar ahruf sab’ah, dalam pembahasanya terkait dengan pengertian tujuh huruf (ahruf sab’ah), landasan hadits tentang turunya al-Qur’an dalam tujuh huruf, bukti adanya al-Qur’an turun dalam tujuh huruf, pendapat ulama tentang makna al-Qur’an turun dalam tujuh huruf, dan akhir dari al-Qur’an tujuh huruf.
Dengan segala keterbatasan dalam tulisan terkait dengan tema ini, saya berharap semoga dapat menjadi pemicu bagi pembaca, terkhusus untuk para peserta diskusi pada kelompok K7 untuk dapat bersinergi dalam mengkonfirmasi, mengevaluasi, serta mengembangkan hal-hal yang mungkin belum terlihat relevantif dalam tulisan ini.

B.     Wahyu
Secara umum terlihat sama apa yang disebut wahyu dalam pengertianya dengan al-Qur’an. Namun untuk lebih jauh memahami apakah sebenarnya yang dimaksud dengan wahyu, dan menelaah lebih lanjut apakah al-Qur’an bisa dipahami sebagai wahyu Allah, dan sebaliknya apakah setiap wahyu Allah dapat disebut sebagai al-Qur’an. Dalam diskusi sebelumya secara umum telah disinggung dalam makalah yang disampaikan oleh saudara Al-Adiyat dengan judul Ulumul al-Qur’an dan Al-Qur’an,[2] bahwa para nabi dan rasul Allah mereka juga menerima apa yang disebut sebagai wahyu, namun wahyu-wahyu yang diterima para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad saw., tidak dikatakan sebagai al-Qur’an. Oleh sebab itu sebagai bentuk kelanjutan dari diskusi sebelumnya, saya akan mencoba menguraikan lebih lanjut  terkait dengan pengertian wahyu dan batasan batasanya.


a.      Pengertian Wahyu
Wahyu atau الوحي   adalah kata mashdar (infinitif), yang secara etimologi bahasa arab berarti isyarat, bisikan, atau paham. Ada pula yang mengartikan bahwa wahyu adalah bisikan yang tersembunyi dan cepat [3]
Sedang menurut terminologi syeikh Mana’ al-Qathan dengan merujuk pendapat Imam Muhammad Abduh menjelaskan, bahwa yang dimaksud wahyu adalah:
"عرفان يجده الشخص من نفسه مع اليقين بأنه من قبل الله بواسطة أو بغير واسطة, والأول بصوت يتمثل لسمعه أو بغير صوت. ويفرق بينه وبين الإلهام بأن الإلهام: وجدان تستيقنه النفس فتنساق إلى مايطلب على غير شعور منها من أين أتى؟ وهو أشبه بوجدان الجوع والعطش والخزن والسرور"[4]
Pengetahuan yang didapati oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah melalui perantara ataupun tidak. Yang pertama melalui suara yang menjelma dalam telinganya atau tanpa suara sama sekali. Beda antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu adalah institusi yang diyakini oleh jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan rasa lapar, haus, sedih atau gembira
Defenisi diatas, pada bagian awalnya menegaskan adanya kemiripan antara wahyu dengan  suara hati atau kasyaf. Namun kemudian dalam perbedaanya dengan ilham pada bagian akhir dalam defenisi tersebut diatas menegaskan, bahawa wahyu merupakan hakikat kebenaran yang datangnya dari Allah, dan dalam beberapa ayat al-Qur’an hal tersebut dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW., akan tetapi al-Qur’an dalam menjelaskan esensi wahyu hanya dalam bentuk isyarat dan tidak mendetail, seperti firman Allah SWT.,

¼çm¯RÎ)ur ã@ƒÍ\tGs9 Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÒËÈ tAttR ÏmÎ/ ßyr9$# ßûüÏBF{$# ÇÊÒÌÈ 4n?tã y7Î7ù=s% tbqä3tGÏ9 z`ÏB tûïÍÉZßJø9$# ÇÊÒÍÈ
“Dan Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan” (Q.S al-Syu’araa: 192-194)
Beranjak dari uraian diatas, secara umum penulis berpendapat bahwa wahyu merupakan salah satu sarana komunikasi antara Tuhan yang bersifat imaterial dengan manusia yang bersifat materil. Melihat bentuk esensi dari pengertian wahyu maka al-Qur’an juga termasuk wahyu Allah yang khusus diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., sebagai peringatan Allah kepada manusia dan bukti kerasulan Nabi Muhammad SAW.,
Dalam al-Qur’an ayat-ayat yang berkaitan dengan wahyu ada 135 ayat dengan penggunaan serta objek penerima yang beraneka ragam, diantaranya adalah:
No
Pembagian Wahyu
Surat dan Ayat
Penjelasan
1





2













Wahyu untuk bumi





Wahyu untuk Nabi :
a.       Nabi Nuh







b.      Nabi Musa




c.       Nabi Yusuf



d.      Nabi Muhammad















e.       Wahyu dengan perantara


f.       Wahyu untuk langit






g.      Wahyu untuk hewan

h.      Wahyu kepada malaikat


Al-Zalzalah :5





Hud : 36
Al-Mu’minun: 27






Al-‘Araf:117
Thaha: 77



Yusuf: 15



Al-Imran :44
Yunus :15
Al-Anbiya:45
Asy-Syura: 3
Al-Najm: 4












Asy-Syura:51




Al-Fussilat: 12







Al-Nahl :68


Al-Anfal: 12
Wahyu ini merupakan perintah Allah kepada bumi untuk hancur dan terbelah supaya manusia keluar dari kubur-kuburnya.
Kedua ayat ini merupakan wahyu kepada Nabi Nuh untuk membuat bahtera, dan menghibur Nuh agar tidak bersedih terhadapa pengingkaran yang telah dilakukan oleh para pengikutnya.

Ayat ini merupakan wahyu Allah kepada Nabi Musa dalam menghadapi kemungkaran yang dilakukan oleh Fir’aun.
Ayat ini bertujuan untuk menguatkan Nabi Yusuf sehingga ia tak merasa bersedih hati.
Kelima ayat ini merupakan peringatan dan tantangan dari Allah kepada orang-orang yang mengasingkan al-Qur’an, dan juga penjelasan terhadap Muhammad tentang berita berita yang ghaib dan wahyu yang diturunkan kepadanya bukanlah ucapan Muhammad yang diucapkan menurut hawa nafsunya, namun merupakan perkataan Allah yang diwahyukan kepada Muhammad.
Ayat ini menerangkan bahwa pemberitahuan wahyu itu melalui perantara atau dibalik tabir.
Ayat ini merupakan wahyu Allah kepada langit serta benda benda yang ada didalamnya untuk bergerak sesuai dengan yang telah diperintahkanya.

Wahyu ini merupakan petunjuk dan bimbingan Allah kepada lebah untuk membuat sarang
Wahyu ini disampaikan Allah kepada malaikat agar membantu kaum muslimin dalam perang badar


Dari pembagian wahyu diatas, dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan, tentang pengertian makna wahyu itu sendiri serta penggunaanya di dalam al-Qur’an, ada yang bermakna perintah, isyarat, dan juga ilham. Maka dengan demikian al-Qur’an merupakan wahyu risalah yang khusus dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW.

b.      Beberapa Perbedaan Wahyu Ilham Instink Mimpi dan Hipnotis
Untuk menelah perbedaan dari masing masing istilah tersebut, maka terlebih dahulu akan dipaparkan defenisi dari masing-masing istilah tersebut :
1.      Ilham
Syeikh Muhammad Abduh menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ilham adalah institusi yang diyakini oleh jiwa serta terdorong untuk mengikutinya, tanpa mengetahui dari mana datangya.[5] Pendapat lain mengatakan bahwa yang menerima ilham tidak hanya manusia namun binatang dan tumbuh-tumbuhan pun menerimanya. Dalam surat Al-Nahl disinggung tentang ilham untuk lebah. Ilham dalam ayat ini menurut Fakhrurrazi ialah Allah telah menetapkan perilaku naluriah kepada lebah.
Prof. Hasbi As Siddiqi menyatakan: ilham demikian diperoleh dengan cara kasyaf maknawi, tidak memakai perantaraan malaikat berjalan menurut cara-cara tertentu yang biasa Allah pergunakan terhadap tiap-tiap maujud.
2.      Insting
Dalam ensiklopedia arti dari insting adalah menyangkut pola-pola prilaku dan respon-respon yang komplek, tidak dipelajari, muncul begitu saja dari kelahiran seseorang, dan diperoleh oleh turun-temurun (secara filogenetik). Naluri muncul sebagai karakteristik yang dimiliki suatu makhluk, misalnya hewan dalam menghadapi lingkungan untuk memungkinkan kelangsungan hidupnya, naluri juga terdapat pada prilaku manusia yang kadang-kadang muncul pada situasi tertentu dan sulit dijelaskan dasar-dasar timbulnya.[6]
3.      Mimpi
Mimpi adalah pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau indra lainnya dalam tidur, terutama saat tidur. Adakalanya Allah menyampaikan pesan kepada nabi dan rasulnya melalui mimpi yang benar dan diyakini kebenaranya itu dari Allah, seperti firman Allah kepada Ibrahim:
$¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»tƒ þÎoTÎ) 3ur& Îû ÏQ$uZyJø9$# þÎoTr& y7çtr2øŒr& öÝàR$$sù #sŒ$tB 2ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»tƒ ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? ( þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÉËÈ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ashshaaffaat: 102)

4.      Hipnotis
Orang yang melakukan proses hipnosis (memberikan sugesti) terhadap subjek disebut hipnotis (hypnotist). Sedangkan yang dimaksud hipnosis adalah suatu kondisi mental atau diberlakukannya peran imajinatif. Hipnosis biasanya disebabkan oleh prosedur yang dikenal sebagai induksi hipnosis, yang umumnya terdiri dari rangkaian panjang instruksi awal dan sugesti. Sugesti hipnosis dapat disampaikan oleh seorang hipnotis di hadapan subjek, atau mungkin dilakukan sendiri oleh subjek (Self-hipnosis)[7]
Beranjak dari defenisi diatas, maka dapat penulis simpulkan beberapa perbedaan diatara istilah istilah tersebut diatas:
1.      Wahyu merupakan pesan dari Allah SWT., yang diyakini kebenaranya dan datangya dari Allah serta hanya diberikan kepada manusia (nabi dan rasul), sedangkan ilham, mimpi, insting, dan hipnotis sebaliknya;
2.      Meskipun Nabi Ibrahim as menerima wahyu melalui mimpi, penulis cenderung berpendapat bahwa mimpi itu bukanlah wahyu, akan tetapi mimpi Nabi Ibrahim sebagai wasilah atau media dalam penyampaian wahyu Allah kepada Nabi Ibrahim.

c.       Cara Penyampaian Wahyu Allah kepada nabi dan rasul
Allah SWT., dalam menurunkan wahyu kepada nabi dan rasul-Nya pada hakikatnya terdiri atas dua cara. Pertama, yakni melalui perantaraan Jibril as yang memang tugasnya sebagai malaikat pembawa wahyu. Kedua, yakni tidak melalui perantaraan.[8]
a.       Melalui Perantara
1.      Cara pertama, datang kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini yang paling berat buat Rasul. Apabila wahyu yang turun kepada Rasulullah SAW., dengan cara ini, maka ia mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya, dan suara itu mungkin sekali suara “kepakan” sayap-sayap malaikat, seperti yang diisyaratkan di dalam hadis : Ali bin ‘Abdullah, memberitakan kepada kami, dari Sufyan, dari Umar, dari Ikrimah, dari Abu Hurairah, ia disampaikan oleh Nabi saw dalam sabdanya: Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemerincingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin (HR. al-Bukhari)
2.      Cara kedua, malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara yang demikian itu lebih ringan dari cara pertama tadi dalam pewahyuan. Dalam hal ini, Rasul berhadapan langsung dengan malaikat.

b. Tanpa Perantara
1.      Mimpi yang benar di dalam Tidur, sebagaimana dalam hadis, yakni ; Yahya bin Bukair memberitakan kepada kami, ia berkata dari al-Lais, dari Uqail, dari Ibn Syihab, dari Urwah bin al-Zubayr, dari Asiyah Umm al-Mu’minin, ia berkata :Sesunggungnya apa yang mula-mula terjadi bagi Rasulullah saw adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari. Menurut keterangan dari berbagai  literatur, ditemukan penjelasan bahwa Rasulullah SAW., menerima wahyu dengan cara mimpi, sebagai persiapan baginya untuk menerima wahyu dalam keadaan sadar. Di dalam al-Quran wahyu yang diturunkan ketika beliau dalam keadaan sadar, kecuali bagi banyak orang yang mendakwakan bahwa surat al-Kausar diturunkan melalui mimpi.
2.   Wahyu diterima dari balik tabir tanpa melalui perantara, adalah sebagaimana yang terjadi pada nabi Mūsa as.
d.      Cara Khas Penyampaian Wahyu kepada Nabi Muhammad SAW
Cara cara penyampaian wahyu diatas merupakan cara cara umum yang berlaku pada semua nabi dan rasul. Khusus wahyu al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., para ulama ahli tafsir menjelaskan cara Allah menurunkan wahyu kepada beliau sebagai berikut:
1.       Dengan mimpi.
2.       Dicampakkan ke dalam jiwa Nabi saw (dihembuskan ke dalam jiwanya) perkataan yang dimaksudkan, sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. al-Syura (42) ayat 52.
3.       Wahyu datang kepada Nabi saw seperti gerincingan lonceng, yakni Nabi SAW., mendengar suara yang sangat kerasnya menyerupai gerincingan lonceng yang keras. Martabat inilah yang paling berat diterima Nabi SAW.
4.       Jibril memperlihatkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW. dalam rupa seorang laki-laki yang sangat elok rupanya.
5.       Jibril memperlihatkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW. dalam rupanya yang asli, yang mempunyai enam ratus sayap.
6.       Allah membicarakan Nabi SAW. dari belakang hijab, baik dalam keadaan Nabi SAW. sadar (jaga), sebagaimana yang terjadi pada malam isra’, ataupun dalam keadaan tidur.
7.       Israfil turun membawa beberapa kalimat dari wahyu, sebelum Jibril datang membawa wahyu al-Quran.

e.       Kategori Wujud Wahyu kepada Nabi Muhammad: al-Qur’an, hadits, dan hadits qudsi
Al-Qur’an diyakini sebagai sumber pertama dalam menetapkan suatu hukum,[9] karena al-Qur’an merupakan firman Allah  langsung yang tidak ada campur tangan manusia di dalamnya baik dari segi lafaz maupun makna dalam penerimaanya.  Sedangkan hadits masih terdapat perbedaan pendapat diantara ulama mengenai kewahyuanyan, hal ini disebabkan karena hadits merupakan otoritas Nabi Muhammad SAW., dan juga dijadikan sebagai sebuah keyakinan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, meski terdapat beberapa golongan yang menolak hadits sebagai sumber ajaran Islam.
Untuk menganalisa lebih jauh terkait kewahyuan hadits, disini penulis terlebih dahulu akan mengemukakan defenisi al-Qur’an dan hadits, baik hadits nabawi dan juga hadits qudsi sebagai landasan utama dalam pembahasan kategori wahyu kepada Nabi Muhammad SAW.,
a.       Al-Qur’an
Defenisi al-Qur’an terdapat perbedaan dikalangan mutakkalimin, ushuliyiin, fuqaha, dan juga ulama ulama lainya.[10] Namun disini penulis akan merujuk defenisi al-Qur’an secara umum. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., melalui perantara malaikat jibril, bernilai ibadah dalam membacanya, dan dimulai dari surat al-fatiha dan diakhiri dengan surat al-nas.[11]
b.      Hadits
Begitupun dengan hadits para ulama mempunyai pendapat yang berbeda dalam memberikan defenisi terhadapnya, namun secara umum hadits, adalah apa apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik dari segi perkataan, perbuatan, ketetapan, atau sifat beliau[12]
Terkait persoalan perbedaan antara hadits Qudsi dan hadits Nabawi Dr. Muhammad Ajjaj al-khatib menjelaskan bahwa hadits Qudsi adalah perkataan Nabi Muhammad yang sandaranya adalah Allah SWT., sedangkan hadits Nabawi sandaranya adalah Nabi Muhammad sendiri. Dalam bahasa yang sederhana dapat dipahami bahwa perbedaan antara hadits qudsi dan hadits nabawi adalah persoalan persandaranya, hadits qudsi maknanya berasal dari Allah SWT., kemudian susuanan redaksinya dari Nabi Muhammad sendiri dengan tidak mengubah esensi pesan Allah SWT., sedangkan hadits Nabawi, makna dan redaksinya berasal dari Nabi sendiri dimana beliau sebagai penjelas terhadap al-Qur’an.
Analisis penulis tentang kewahyuan Al-Qur’an dan hadits:
Merujuk  kepada defenisi al-Qur’an dan hadits, makan penulis mencoba merumuskan sebuah asumsi tentang konsep kewahyuan al-Qur’an dan hadits.  Nabi Muhammad SAW., bukanlah seorang rasul yang berbeda dengan rasul rasul sebelum beliau. Beliau bukan nabi pertama yang berbicaya soal wahyu Tuhan, para utusan Allah sebelum Nabi Muhammad juga tidak berbicara dengan hawa nafsu mereka melainkan dengan wahyu dari Allah. Allah SWT., berfirman:

!$¯RÎ) !$uZøym÷rr& y7øs9Î) !$yJx. !$uZøym÷rr& 4n<Î) 8yqçR z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur .`ÏB ¾ÍnÏ÷èt/ 4 !$uZøŠym÷rr&ur #n<Î) zOŠÏdºtö/Î) Ÿ@ŠÏè»yJóÎ)ur t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètƒur ÅÞ$t6óF{$#ur 4Ó|¤ŠÏãur z>qƒr&ur }§çRqãƒur tbr㍻ydur z`»uKøn=ßur 4 $oY÷s?#uäur yŠ¼ãr#yŠ #Yqç/y ÇÊÏÌÈ
      Sesungguhnya kami Telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami Telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami Telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan kami berikan Zabur kepada Daud.( Al-Nisa:163)
Karena al-Quran diturunkan ke dalam hati Nabi Muhammad, maka jelas bahwa al-Quran adalah wahyu Allah yang diyakini kebenaranya datang dari Allah.

f.       Urgensi Wahyu Dilihat dari Sisi Rasionalitas dan Relitas Kebenaranya.
Sebagaimana kita yakini bahwa al-Qur’an diturunkan kepada manusia agar ia menjadi petunjuk bagi kita, yang akan menjembatani kita dalam menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebagai kitab suci ia melibatkan keyakinan yang berbeda pula dalam pandangan manusia, orang-orang yang telah mendapatkan petunjuk dari Allah maka Allah bukakan hatinya untuk mampu mempelajari kemudian sampai pada tingkat keyakinan dan menerima kebenaran al-Qur’an. Dan sebagian manusia juga ada yang mencoba merasionalisaikan wahyu Allah tanpa didasari sikap objektifitas, hingga akhirnya bukan petunjuk yang didapatkan dan justru sebaliknya.
Pengkajian al-Qur’an sebagai wahyu Allah bukan hanya saja dipelajari dan dikembangkan oleh umat islam sendiri, tetapi saat ini justru kelompok kelompok di luar Islam  lebih insentif dalam mengkaji al-Qur’an, seperti orientalis dan missionaris, mereka mencoba mencari kelemahan al-Qur’an dari berbagai sisi dengan mengedepankan sikap rasional bebas.
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa al-Qur’an mempunyai dua sisi yang penting sebagai petunjuk, yaitu pertama, petunjuk petunjuk sekaligus isyarat yang bersifat empiris dan menuntut penggunaan akal, maka dalam hal ini Syeikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa fungsi akal adalah sebagai konfirmasi terhadap ayat ayat al-Qur’an yang bersifat informatif. Kedua, al-Qur’an sebagai berita terhadap hal-hal yang ghaib, hal ini jangkauan lebih jauh dari pada sekedar penggunaan rasionalitas. Karena dalam memahaminya tidak hanya cukup dengan menggunakan perangkat-perangkat logika, bahkan terkadang logika tidak dapat digunakan sama sekali. Seperti berita bertia tentang malaikat, surga, neraka dan sebagainya, maka hal ini termasuk dalam ranah keyakinan yang mendalam.

C.    Nuzul al-Qur’an
Turunnya AlQur’an merupakan suatu kejadian yang sangat mengagetkan sekaligus menggembirakan hati Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana turunnya Surat Al-‘alaq (ayat:1-5), Nabi Muhammad SAW.  dalam menerimanya sangatlah berat karena karena diturunkan lewat perantara malaikat jibril sesosok yang membuat Nabi Muhammad SAW. ketakutan. Saat malaikat jibril menyampaikan wahyu tersebut, Rasullullah juga merasa keberatan karena tidak bisa melaksakan apa yang diperintah malaikat jibril. Tetapi setelah berkali-kali malaikat jibril mengulang akhirnya Nabi Muhammad SAW. dapat menerimanya, begitupun saat menerima ayat-ayat yang lain, Rasulullah selalu merasa ketakutan dengan segala sesuatu yang mengiringi ayat-ayat tersebut.
Begitu sulitnya Rasulullah dalam menerima wahyu membuktikan kalau peristiwa turunnya Al Qur’an merupakan suatu kejadian yang sangat luar biasa. Dengan turunnya Al Qur’an berarti banyak hal yang perlu dikaji lebih mendalam lagi, baik dari segi sebab-sebab turunnya atau yang sering disebut Asbabun Nuzul maupun proses turunnya Al Qur’an itu sendiri.
a.      Makna Nuzul, Inzal, dan Tanzil dalam Al-Qur’an Perbedaan dan Kesamaanya
Dalam kaitan turunnya Al Qur’an sering disebutkan dengan kata-kata seperti nuzulinzaltanazzultanzil , dan munazzal yang masing-masing berati turun, menurunkan, hal turun, proses penurunan, dan yang diturunkan. Perlu diketahui, bahwa bahwa setiap kata mempunyai dua fungsi makna, yakni makna dasar (harfiyah, etimologik) dan makna termi-nonlogik (relasional). Adapun makna-makna diatas merupakan fungsi makna dasar. Sedangkan makna relasionalnya dapat diikuti uraian berikut ini.
Az Zarqani menjelaskan bahwa kata nuzul mempunyai makna dasar (perpindahan sesuatu dari atas ke bawah) atau (suatu gerak dari atas kebawah). Menurutnya, dua batasan tersebut memang tidak layak diberikan untuk maksud diturunkannya al Qur’an oleh Allah, karena keduanya hanya lebih tepat dan lazim dipergunakan dalam hal yang berkenaan dengan tempat dan benda atau materi yang mempunyai berat jenis (BJ) tertentu. Sedangkan al-Qur’an bukan semacam benda yang memerlukan tempat perpindahan dari atas ke bawah. Tapi yang benar adalah memahami bahwa kata nuzul itu bersfat majazi, yakni pengertian nuzul al-Qur’an bukan tergambar dalam wujud perpindahannya al-Qur’an, atau al-Qur’an itu turun dari atas ke bawah, tetapi harus di pahami sebagai pengetahuan bahwa al-Qur’an telah diberitakan oleh Allah SWT. kepada penghuni langit dan bumi. Disini terkandung maksud bahwa nuzul harus dita’wilkan dengan kata i’lam yang berarti pemberitahuan atau pengajaran. Maka nuzul al-Qur’an berarti proses pemberitaan atau penyampaian ajaran al-Qur’an yang terkandung di dalamnya.
Pada banyak tempat dalam al-Qur'an ditemukan ayat-ayat yang memuat lafaz al-Inzal dan al-Tanzil serta derivasinya. Syahrur  yang telah bersinggungan dengan teori al-Jurjani yang menolak sinonimitas dalam al-Qur'an, meletakkan teori al-Laa Taraduf ini sebagai landasan tesisnya dan melakukan pembuktian untuk menarik kesimpulan bahwa kata-kata yang berakar dari al-Inzal dan al-Tanzil tidak bisa diperlakukan dengan satu pemaknaan yang sama. Bertolak dari titik ini Syahrur berupaya menyelesaikan problem pemaknaan al-Inzal dan al-Tanzil dengan memposisikan keduanya pada pemaknaan yang berbeda. Menurutnya perbedaan ini menjadi sangat penting karena merupakan kunci yang akan membuka gerbang pemahaman al-Kitab yang tidak bisa dipisahkan dari kedua sisinya,  al-Nubuwwah dan al-Risalah.
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$# ÇÊÈ
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR y7øn=tã tb#uäöà)ø9$# WxƒÍ\s? ÇËÌÈ
ã@ƒÍ\s? É=»tGÅ3ø9$# z`ÏB «!$# ̓Íyèø9$# ÉOÅ3ptø:$# ÇËÈ
Al-Inzal dan al-Tanzil pada ayat-ayat di atas masing-masing mempunyai makna yang spesifik. Syahrur berupaya menemukan perbedaan makna antara al-Inzal dan al-Tanzil dengan mengawali pelacakan leksikal dari suatu akar kata yang mengalami penambahan hamzah dan tadl'if yang keduanya berfungsi untuk melahirkan makna ta'addi (transitif). Secara aplikatif fungsi ini terkandung juga pada kata al-Balagh atau al-Tabligh dan al-Iblagh yang kemudian dianalogikan olehnya pada al-Inzal dan al-Tanzil. untuk mendekatkan adanya kesamaan perbedaan makna antara keduanya.
b.      Pengertian Nuzul Al-Qur’an dan Kaitnya dengan Wahyu
Kata Nuzul Al-Quran merupakan gabungan dari dua kata, yang dalam bahasa arab susunan semacam ini desebut dengan istilah tarkib idhofi dan dalam bahasa indonesia biasa diartikan dengan turunnya al-Quran.[13]
Sedang nuzul al-Qur’an menurut jumhur ulama adalah proses penurunan ayat al-Qur’an secara keseluruhan ke bait al-izza dari langit dunia, kemudian baru diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., secara berangsur angsur oleh malaikat Jibril, dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun.[14] Dalam riwayat Ibnu abbas diterangkan bahwa al-Qur’an diturunkan pada malam lail al-Qadar.
c.       Pengertian Lauh Mahfuz Baitul Izza serta Malaikat Jibril dalam Kaitan Pewahyuan/ Nuzl Al-Qur’an
Lauh Mahfuzh (لَوْحٍ مَحْفُوظٍ) adalah kitab tempat Allah menuliskan segala seluruh catatan kejadian di alam semesta. Lauh Mahfuzh disebut di dalam Al-Qur'an sebanyak 13 kali diantaranya adalah dalam surah Az-Zukhruf 43: 4, Qaf 50: 4, An-Naml 27: 75 dan lainnya. Beberapa sebutan lain dari lauh mahfudz dalam al-Qur’an adalah umul kitaab, kitaab al-mubin, dan kitaab al-maknuun.
Terkait pengertian bait al-izza penulis tidak menemukan defenisi yang psesifik tentang bait al-izza, namun ada beberapa riwayat yang menjelaskan seperti  Imam al Nasa’i dari ‘Ikrimah dari Ibn Abbas, bahwa: Al-Qur’an diturunkan secara keseluruhan sekali ke langit dunia pada malam al-Qadr. Kemudian diturunkan kedalam dua puluh tahun
Dengan demikian hemat penulis bahwa bait al-izza adalah tempat penurunan al-Qur’an yang ke dua setelah lauh mahfuz, baru yang ke tiga adalah penurunan al-Qur’an oleh malaikat Jibril as., penurunanya yang ketiga merupakan tahap terakhir dimana dari penurunan yang ketiga ini tersebar sinar di dunia dan hidayah Allah sampai kepada makhluk. Penurunan ini melalui malaikat Jibril yang membawanya turun ke dalam hati Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam QS. Syu’ara 193-195
tAttR ÏmÎ/ ßyr9$# ßûüÏBF{$# ÇÊÒÌÈ 4n?tã y7Î7ù=s% tbqä3tGÏ9 z`ÏB tûïÍÉZßJø9$# ÇÊÒÍÈ Ab$|¡Î=Î/ <cÎ1ttã &ûüÎ7B ÇÊÒÎÈ
“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.”

d.      Nuzul al-Qur’an Secara Berangsur Angsur dengan Bahasa Arab (tanjim/munajjaman) kepada Nabi dan hikmahnya
Al-Qur’an adalah sumber tujuan paling utama dalam ajaran Islam. Allah SWT menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW., untuk disampaikan kepada umat manusia. Hakikat diturunkannya al-Qur’an adalah menjadi acuan moral secara universal bagi umat manusia untuk memecahkan problem sosial yang timbul ditengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya, al-Quzr’an secara kategoris dan tematik, dihadirkan untuk menjawab berbagai problem aktual yang dihadapi masyarakat sesuai dengan konteks dan dinamika sejarahnya. Karena itu, masuk akal jika para mufasir sepakat bahwa prosesi penurunan al-Qur’an ke muka bumi dilakukan oleh Allah SWT. secara berangsur-angsur (gradual), tidak sekaligus, disesuaikan dengan kapasitas intelektual dan konteks masalah yang dihadapi manusia. Graduasi penurunan al-Qur’an menujukan tingkat kearifan dan kebesaran Allah SWT., sekaligus membuktikan bahwa pewahyuan total pada satu waktu adalah sesuatu yang dikatakan mustahil, karena bertentangan dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang dho’if (lemah)
Al-Qur’an tidak diturunkan kepada Rasulullah SAW. sekaligus satu kitab, tetapi secara berangsur-angsur, surat-persurat dan ayat-perayat. Sebagaimana yang kita ketahui segala sesuatu yang Allah kehendaki itu mengandung hikmah dan memiliki tujuan. Diantara hikmah atau tujuannya al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sebagai berikut:
1)   Untuk menguatkan hati Nabi Muhammad SAW.  
Allah SWT berfirman dalam surat al-furqon ayat 32:
tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. Ÿwöqs9 tAÌhçR Ïmøn=tã ãb#uäöà)ø9$# \'s#÷Häd ZoyÏnºur 4 y7Ï9ºxŸ2 |MÎm7s[ãZÏ9 ¾ÏmÎ/ x8yŠ#xsèù ( çm»oYù=¨?uur WxÏ?ös? ÇÌËÈ
Berkatalah orang-orang yang kafir : “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar)”.
Ayat diatas menerangkan bahwa Allah memang sengaja menurunkan al-Qur’an secara berangsur-angsur. Tidak turun langsung berbentuk satu kitab dengan tujuan untuk meneguhkan hati Nabi SAW.. Sebab dengan turunnya wahyu secara bertahap menurut peristiwa, kondisi, dan situasi yang mengiringinya, tentu hal itu lebih sangat kuat menancap dan sangat terkesan di hati sang penerima wahyu tersebut, yakni Nabi Muhammad. Dengan begitu turunnya malaikat kepada beliau juga lebih sering, yang tentunya akan membawa dampak psikologis kepada beliau; terbaharui semangatnya dalam mengemban risalah dari sisi Allah. Beliau tentunya juga sangat bergembira dengan kegembiraan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
2)   Untuk menantang orang-orang kafir yang mengingkari al-Qur’an
Allah menantang orang-orang kafir untuk membuat satu surat saja yang sebanding dengannya. Dan ternyata mereka tidak sanggup membuat satu surat saja yang seperti al-Qur’an, apalagi membuat langsung satu kitab.
3. Supaya mudah dihafal dan dipahami
Dengan turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur, sangatlah mudah bagi manusia untuk menghafal serta memahami maknanya. Lebih-lebih bagi orang-orang yang buta huruf seperti orang-orang arab pada saat itu; al-Qur’an turun secara berangsur-angsur tentu sangat menolong mereka dalam menghafal serta memahami ayat-ayatnya. Memang, ayat-ayat al-Qur’an begitu turun oleh para sahabat langsung dihafalkan dengan baik, dipahami maknanya, lantas dipraktekkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya Umar bin Khattab pernah berkata: “Pelajarilah Al-Qur’an lima ayat-lima ayat. Karena Jibril biasa turun membawa Qur’an kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam lima ayat-lima ayat”. (Hadist Riwayat Baihaqi)
4. Supaya orang-orang mukmin antusias dalam menerima Qur’an dan giat mengamalkannya
Kaum muslimin waktu itu memang senantiasa menginginkan serta merindukan turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Apalagi pada saat ada peristiwa yang sangat menuntut penyelesaian wahyu; seperti ayat-ayat mengenai kabar bohong yang disebarkan oleh kaum munafik untuk memfitnah ummul mukminin Aisyah radiyallahu’anha, dan ayat-ayat tentang li’an.
5. Mengiringi kejadian-kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan suatu hukum.
Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur,yakni dimulai dari masalah-masalah yang sangat penting kemudian menyusul masalah-masalah yang penting. Nah, karena masalah yang sangat pokok dalam Islam adalah masalah Iman, maka pertama kali yang diprioritaskan oleh Al-Qur’an ialah tentang keimanan kepada Allah, malaikat, iman kepada kitab-kitabnya, para rasulnya, iman kepada hari akhir, kebangkitan dari kubur, surga dan neraka.
Setelah akidah Islamiyah itu tumbuh dan mengakar di hati, baru Allah menurunkan ayat-ayat yang memerintah berakhlak yang baik dan mencegah perbuatan keji dan mungkar untuk membasmi kejahatan serta kerusakan sampai ke akarnya. Juga ayat-ayat yang menerangkan halal haram pada makanan, minuman, harta benda, kehormatan dan hukum syari’ah lainnya.
Begitulah al-Qur’an diturunkan sesuai dengan kejadian-kejadian yang mengiringi perjalanan jihad panjang kaum muslimin dalam memperjuangkan agama Allah di muka bumi. Dan ayat-ayat itu tak henti-henti memotivasi mereka dalam perjuangan ini.
e.       Nuzul al-Qur’an dengan Lail Al-Qadar
Ibnu Abbas meriwayatkan  bahwa al-Qur’an diturunkan secara utuh ke langit dunia pada malam lail al-Qadar, bulan Ramadhan.
f.       Ayat-ayat Pertama dan Terakhir Diturunkan
Terdapat beberapa pendapat mengenai apakah yang mula-mula diturunkan mengenai al-Qur ,an :
a.    Jumhur ulama pendapat yang paling rajih atau sahih yaitu yang pertama diturunkan ialah lima ayat pertama  surah al-‘Alaq berdasarkan riwayat ‘Aisyah yang dicatat oleh Imam Bukhari, Muslim dan al-Hakim dalam kitab-kitab hadis  mereka. Aisyah r.a. menyatakan: “Sesungguhnya permulaan wahyu datang kepada Rasulullah SAW. melalui mimpi yang benar di waktu tidur. Mimpi itu jelas dan terang bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian dia gemar menyendiri dan pergi ke gua Hira. untuk beribadah beberapa malam dengan membawa bekal. Sesudah kehabisan bekal, beliau kembali kepada isterinya Khadijah r.a., maka Khadijah pun membekalinya seperti bekal terdahulu sehingga beliau didatangi dengan suatu kebenaran (wahyu) di gua Hira’ tersebut, apabila seorang malaikat (Jibril a.s.) datang kepadanya dan mengatakan: “Bacalah!” Rasulullah menceritakan, maka aku pun menjawab: “Aku tidak tahu membaca.” Malaikat tersebut kemudian memeluk-ku sehingga aku merasa sesak nafas, kemudian aku dilepaskannya sambil berkata lagi: “Bacalah!” Maka aku pun menjawab: “Aku tidak tahu membaca.” Lalu dia memeluk-ku sampai aku rasa sesak nafas dan dilepaskannya sambil berkata: “Bacalah!” Aku menjawab: “Aku tidak tahu membaca.” Maka dia memeluk-ku buat ketiga kalinya seraya berkata: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu yang Maha Pemurah! Yang mengajar dengan perantaraan kalam dan mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. Setelah berlaku peristiwa itu kembalilah Rasulullah SAW. kepada isterinya Khadijah (membawa ayat-ayat ini) dengan tubuh menggigil ... ”.
Imam-imam yang lain seperti al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Baihaqi dalam al-Dala’il dan al-Tabrani dalam al-Kabir mengesahkan ayat tersebut adalah yang pertama diturunkan.
b. Pendapat lain mengatakan Surah al-Muddatstsir yang pertama kali diturunkan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah seorang sahabat. Daripada Abu Salamah bin Abdul Rahman, dia berkata: “Aku telah bertanya kepada Jabir bin ‘Abdullah: Yang manakah di antara al-Qur ,an mula-mula diturunkan? Jabir menjawab,” يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
c. Sebahagian ulama tabiin seperti al-Dhahhak bin Muzahim berpendapat ayat pertama ialah Bismillah. Dia menyebut ‘Abdullah bin ‘Abbas pernah berkata: Perkara pertama yang diturunkan oleh malaikat Jibril a.s. kepada Rasulullah SAW dengan beliau mengatakan, “Wahai Muhammad, aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui daripada Syaitan yang dilaknat, dan katakanlah: Bismillahir Rahmanir Rahim (Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.)
Berbagai pendapat mengenai yang terakhir diturunkan tetapi semua pendapat ini tidak mengandung sesuatu yang dapat disandarkan kepada Rasulullah SAW., malah masing-masing merupakan ijtihad atau dugaan. al-Qadhi Abu Bakar mengatakan mungkin mereka memberitahu apa yang terakhir kali didengar oleh mereka kepada  Rasulullah SAW ketika beliau hampir wafat. Antara pendapat tersebut ialah.
1.      Pendapat ‘Aisyah.
Jubayr bin Nufayl berkata, “Aku pergi menemui ‘Aisyah, yang bertanya kepadaku: Adakah kamu membaca Surah al-Ma’idah? Aku katakan Ya. Dia berkata: Inilah Surah terakhir yang diturunkan
2.      Pendapat ‘Abdullah bin Amru bin al-‘As
Abu Abdul Rahman al-Halabi mendengar ‘abdullah bin Amru  berkata: Surah terakhir diturunkan ialah Surah al-Ma’idah.Ayat 3.
3.      Pendapat ‘Umar bin-Khattab
Abu Sa’id al-   Khudry meriwayatkan kepada ‘Umar bin-Khatab yang memberitahu ayat terakhir diturunkan ialah pengharaman riba’ (al-Baqarah:275) dan Rasulullah SAW. wafat beberapa hari selepas itu dan perkara riba’ tersebut tidak tertinggal tanpa penjelasan.
g.      Pengulangan (tikrar) pada Proses Turunya Ayat atau Surat, serta Contohnya.
Dari aspek etimologi al-tikrar merupakan bentuk infinitif (masdar) dari asal kata كرر (Karrara ) yang berarti mengulangi.[15]
dapun menurut istilah, Ibnu Atsir mendefinisakan al-tikrar adalah: Sebuah lafadz yang menunjukkan kepada suatu makna dengan berulang-ulang[16]

Diantara pentingnya tikrar dalam proses penurunan wahyu adalah:
a.    Menganjurkan manusia agar mentadabburi al-Qur`an lalu kemudian mengambil ibrah dari pengulangan ayat tersebut. Seperti pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang kekuasaan Allah dari penciptaan langit, bumi angkasa raya dan sebagainya. Seperti pada surat al-Syua`ra ayat 8 dan 9 yang bunyi ayatnya adalah:
$¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ZptƒUy ( $tBur tb%x. NèdçŽsYø.r& tûüÏZÏB÷sB ÇÑÈ ¨bÎ)ur y7­/u uqßgs9 âƒÍyèø9$# ãLìÏm§9$# ÇÒÈ
Ayat ini diulangi sebanyak delapan kali;
c Pengkukuhan eksistensi Tuhan yang memilki alam semesta. Seperti pada surat al-Nisa ayat 131 dan 132;
¬!ur $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 ôs)s9ur $uZøŠ¢¹ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNà6Î=ö6s% öNä.$­ƒÎ)ur Èbr& (#qà)®?$# ©!$# 4 bÎ)ur (#rãàÿõ3s? ¨bÎ*sù ¬! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 tb%x.ur ª!$# $ÏZxî #YŠÏHxq ÇÊÌÊÈ ¬!ur $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 4s"x.ur «!$$Î/ ¸xŠÏ.ur ÇÊÌËÈ
d. Pengkhususan. Seperti pengulangan pada lafazd الناس)) sebanyak dua kali pada surat Ghafir ayat 61. Pemgkususan ini diperuntukan kepada manusia dari makhluk yang lainnya dengan kekufuran mereka pada nikmat-nikmat Allah;
e. Celaan. Seperti pengulangan pada ayat (فبأي الاء ربكما تكذبان ) sebanyak 30 kali.
f. Ancaman. Seperti pengulangan ayat (ويل يومئذ للمكذبين)  pada surat al-Mursalat.
D.    Al-Qur’an  Diturunkan dalam Tujuh Huruf
a.      Pengertian Tujuh Huruf
Tidak terdapat nas sarih yang menjelaskan maksud dari sab’at ahruf. Sehingga menjadi hal yang lumrah kalau para ulama,-berdasarkan ijtihadnya masing-masing, berbeda pendapat dalam menafsirkan pengertiannya. Ibn Hibban al-Busti (w. 354 H) sebagaimana dikutip al-Suyuti mengatakan bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini sampai tiga puluh lima pendapat. Sementara al-Zarqani dalam kitabnya hanya menampilkan sebelas pendapat secara detail dari perbedaan-perbedaan ulama tersebut. Perbedaan ulama mengenai pengertian sab’at ahruf ini tidak berasal dari tingkatan kualifikasi mereka atas hadis-hadis tentang tema dimaksud.
Perbedaan itu justru muncul dari lafaz sab’at dan ahruf yang masuk kategori lafaz-lafaz musytarak, yaitu lafaz-lafaz yang mempunyai banyak kemungkinan arti, sehingga memungkinkan dan mengakomodasi segala jenis penafsiran. Selain itu juga disebabkan adanya fenomena historis tentang periwayatan bacaan al-Qur’an yang memang beragam.
b.      Hadits tentang Al-Qur’an Diturunkan dalam Tujuh Huruf
Hadits-hadits inilah yang menjadi landasan kuat bagi ulama tentang adanya gagasan pewahyuan Al-Quran dalam tujuh huruf.
  1. yang terkenal dari berbagai hadits ini adalah riwayat dari Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakam berikut ini: Dari Miswar bin Makhramah dan Abdur Rahman bin Al-Qari bahwa keduanya mendengar Umar bin Khattab berkata: “Aku berjalan melewati Hisyam bin Hakam bin Hizam yang tengah membaca Al-Furqan pada masa Rasulullah SAW. Lalu dengan cermat kudengarkan bacaannya. Dia membaca dalam dialek yang banyak, yang tidak pernah dibacakan Rasulullah kepadaku. Hampir saja kuserang dia dalam shalatnya, tetapi aku bersabar hingga ia menyudahi shalatnya, kemudian aku tarik bajunya dan menanyainya: “Siapa yang membacakan kepadamu surat yang kudengar tadi?” jawabnya: “Rasulullah yang membacakannya kepadaku.” Aku berkata: “Bohong kamu! Sesungguhnya Rasulullah telah membacakannya kepadaku lain dari yang kamu bacakan.” Lalu aku bawa dia ke Rasulullah dan mengadukannya: “Sesungguhnya aku telah mendengar orang ini membaca surat Al-Furqan dalam ahruf yang tidak pernah anda bacakan kepadaku.” Maka Rasulullah berkata: “Lepaskan dia, bacalah Hisyam!” Lalu Hisyam membaca dengan bacaannya yang kudengar tadi. Kemudian Rasulullah Bersabda: “Demikianlah surat itu diturunkan.” Kemudian beliau berkata: “Bacalah wahai Umar!” Maka aku pun membacakan bacaan yang pernah dibacakan Rasulullah kepadaku. Rasulullah lalu bersabda: “Demikianlah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Quran ini diwahyukan dalam tujuh huruf. Bacalah yang termudah darinya!”
  2. Demikian diriwayatkan bahwa Ubay bin ka’b suatu ketika mendengar seseorang di dalam sebuah masjid membaca suatu bacaan Al-Quran yang tidak dikenalnya. Ubay menegurnya, tetapi orang lain setelah itu juga melakukan hal yang sama. Mereka kemudian pergi menemui Rasulullah untuk mengklarifikasi bacaan-bacaan yang berbeda dan Nabi mendengarkan bacaan-bacaan itu. Hal ini membuat Ubay terpukul serta berkeringat dingin dan mencemaskan dirinya sebagai seorang pembohong. Melihat kondisi Ubay, Nabi lalu menenangkannya dan bersabda: “Hai Ubay, aku diutus untuk membacakan Al-Quran dalam satu huruf, tetapi aku menolaknya dan meminta agar umatku diberi keringanan. Kemudian diulangi lagi kepadaku yang kedua kali; Bacalah al Quran dengan dua huruf. Aku pun menolak lagi dan memohon agar umatku diberi keringanan. Lalu diulangi lagi yang ketiga kalinya: Bacalah Al-Quran dalam tujuh huruf.
  3. Sementara, sejumlah hadits lainnya mengungkapkan pewahyuan Al-Quran dalam tujuh ahruf, tetapi tanpa merujuk kepada perselisihan tentang perbedaan bacaan di kalangan kaum muslimin generasi pertama. Jadi Bukhori dan Muslim, misalnya, meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang berkata bahwa Nabi pernah bersabda: “Jibril membacakan Al-Quran kepadaku dalam satu harf, tetapi aku menolaknya. Dan aku terus memohon kepadanya agar ditambahkan, maka dia menambahkannya hingga akhirnya mencapai tujuh huruf.





E.     Penutup
Dari uraian makalah diatas, setidaknya ada beberapa hal yang dapat penulis simpulkan:
1.      Al-Qur’an merupakan wahyu Allah SWT, yang khusus diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, ia tergolong kepada wahyu, sebab ia merupakan pesan Allah SWT., yang dihujamkan ke dalam hati Nabi Muhammad SAW., dan dengan keyakinan yang teguh bahwa itu datang dari Allah SWT., hal tersebut yang membuat beda dengan ilham, mimpi dan lain sebagainya;
2.      Proses turunya al-Qur’an secara berangsur angsur mengandung berbagai macam hikmah sekaligus jawaban atas persoalan umat;
3.      Perbedaan dalam memahami ahruf sab’ah muncul dari kata itu sendiri, dan juga latar belakang historis turunya ayat.

















DAFTAR PUSTAKA
(Al) Qathan, mana, Mabaahits Fii Ulum Al-Qur’an, Surabaya: al-Hidayah, t.th
Fayid, Abdul Wahab, Al-Dakhil fii Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Kairo: t.p, 1978
Ibrahim al-Hifnaawi, Muhammad, Diraasat fi Al-Qur’an Al-Karim, Kairo: Daar al-Hadits, t.th
 Ali Ash-Shabuni, Muhammad, Iktisar Ulum Al-Qur’an Praktis, Jakarta: Pustaka Amani, 2001
‘Ajjaj al-Khatib, Muhammad, Ushul al-Hadits, Damaskus: Daar al-Fiqr, 1966
Usman,Ulumul Quran ,Yogyakarta, TERAS 2009
Khadar, Sayyid , al-Tikrar al Uslubi fi al-Lugah al-Arabiyah, tt: Darel-Wafa, 2003









[1] Dipresentasikan Sabtu, 28 September 2014 di hadapan Dr. Risman Bustamam, M.Ag dan mahasiswa pada Jusuran Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Ilmu Hadits dan Hadits Program Pasca Sarjana IAIN Imam Bonjol Padang
[2] Sabtu, 13 September 2014 Gedung Pasca Sarjana IAIN Imam Bonjol Padang
[3] Syeikh Mana’ al-Qathan mengartikan wahyu dari segi bahasa dengan السريعة الإشارة, bisa berarti isyarat yang cepat , Mana’ al-Qathan, Mabaahits Fii Ulum Al-Qur’an, (Surabaya: al-Hidayah, t.th), hal.32
[4] Mana’ al-Qathan, Ibid,. hal.33
[5] Ibid.,
[6] http//:www.ensiklopedia.com, diakses pada Selasa, 16 September 2013 pukul. 09.56 Wib
[7] http//www.wikipedia indonesia.com, dilihat pada kamis, 17 september 2014.
[8] Mana’ al-Qathan, Op.cit., hal. 37
[9] Abdul Wahab Abdul Wahab Fayid, Al-Dakhil fii Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, ( Kairo: t.p, 1978), hal. 15
[10] Muhammad Ibrahim al-Hifnaawi, Diraasat fi Al-Qur’an Al-Karim, (Kairo: Daar al-Hadits, t.th), hal 13
[11] Al-Qur’an juga berarti tertulis dalam mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir, Ali Muhammad Ali Ash-Shabuni, Iktisar Ulum Al-Qur’an Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hal.3
[12] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, ( Damaskus: Daar al-Fiqr, 1966), hal. 27
[13] Usman,Ulumul Quran (Yogyakarta: TERAS: 2009), hlm. 37
[14] Mana’ al-Qathan, Ibid., hal. 101
[15] Sayyid Khadar, al-Tikrar al Uslubi fi al-Lugah al-Arabiyah, (tt: Darel-Wafa, 2003), hal.6
[16] Ibid., hal.8

Tidak ada komentar: