TINJAUAN
AL-QUR’AN TENTANG MURAQABAH (SELFCONTROL) SEBAGAI TINDAKAN PREVENTIF
DALAM UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI
Oleh : Dian
Siswanto
A.
Pendahuluan
Korupsi adalah kasus yang paling dilematis yang dihadapai oleh
hampir setiap bangsa dan negara dalam beberapa dekade ini, salah satu kejahatan yang menjadi
perhatian besar dunia di era modern (extra ordinary crime), karena ia
dapat merusak sistem tatanan negara, sistem sosial, sistem ekonomi dan moral
suatu bangsa dan negara. Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD) lembaga ini sepakat berperan aktif dalam upaya
pemberantasan korupsi
dan diwujudkan dalam suatu perjanjian yang disebut “The OECD Anti Corruption
Treaty” yang ditandatangani oleh 29
pada tahun 1998.[1]
Bentuk
perjanjian yang dilakukan oleh 29 negara tersebut, mengindikasikan bahwa
korupsi adalah masalah kejahatan yang menjadi kajian serius oleh dunia. Lebih
jauh, Achmad Ali, seperti dikutip oleh Amzulian Rifa’i, menyatakan bahwa
kondisi korupsi saat sekarang ini sudah memasuki “ keadaan tidak
berpengharapan”.[2]
Di sisi lain, jika ditinjau dari dampak yang ditimbulkan, kemiskinan merupakan
dampak nyata dari tindak kejahatan ini. Sebuah
hasil survei yang dipublikasikan oleh Sam Mountford (Direktur Riset Globe Scan)
melalui BBC pada 17 Januari 2012 menempatkan kemiskinan sebagai masalah paling
serius yang dihadapi masyarakat dunia dibanding masalah perubahan iklim,
terorisme, dan perang. Presentasi survei adalah
sebagai berikut; kemiskinan ekstrim 71%, lingkungan 64%, meningkatnya harga
pangan dan energi 63%,
terorisme dan HAM serta penyebaran penyakit 59%, malah ekonomi dunia 58%,
perang 57%. Penelitian ini dilakukan terhadap 25 ribu orang lebih dari 23
negara.[3]
Dalam konteks Indonesia, Political and Economic
Risk Consultantcy (PERC) menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia yang berada di bawah
Vietnam dan Filipina.[4] Hal ini memang sangat mengejutkan, karena Indonesia merupakn
negara mayoritas muslim terbesar di dunia.
Keterpurukan Indonesia dalam kasus korupsi saat ini, juga berdampak kepada
citra umat Islam di dunia, karena pelaku korupsi di Indonesia pada umumnya
berlatar belakang agama Islam. Secara normatif hal ini memang sangat bertentangan
dengan ajaran Islam, Allah SWT berfirman :
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) ÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( cÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷èt $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ
“Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al
Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah
(shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S
al-Ankabut: 45)
Dasar normatif ayat di atas dihubungkan dengan realita kasus korupsi yang
terjadi di tengah-tengah umat Islam (Indonesia), memang terlihat ada suatu
ketimpangan dan apa yang telah terjadi bukanlah yang seharusnya. Hal ini
mengindikasikan bahwa umat Islam hari ini mengalami krisis spiritualitas
ketuhanan, berpisahnya antara iman dan amal. Sehingga fungsi dari pada shalat
terlihat tidak terimplementasikan dalam kehidupan. Dalam pandangan Prof. Dr. Said Agil Husin
Munawar, M.A bahwa krisis besar yang melanda umat manusia tidak akan dapat
diselesaikan dengan keunggulan iptek sendiri dan kebebasan ideologi yang dianut
oleh negara-negara terkemuka, di sinilah kemudian agama dilirik sebagai harapan
dan benteng terakhir yang akan menyelamatkan manusia dari kehancuran yang mengerikan.[5]
Bagi Umat Islam
yang meyakini al-Quran sebagai pedoman hidupnya, dalam sebuah pretensi
mengungkapkan salah satu ayatnya:”Sesungguhnya al-Quran ini menunjukkan
kepada jalan yang paling lurus”(Q.S al-Isra: 9) Tentu untuk membuktikan
klaim ayat ini perlu dilakukan kajian komprehensip mengenai topik korupsi dalam
al-Quran. Berdasarkan hal itu, tulisan ini akan mencoba menjelaskan
wawasan al-Quran tentang upaya pemberantasan korupsi melalui pendekatan tematik[6]
hingga diharapkan akan dapat diperoleh suatu gambaran yang utuh dan objektif
mengenai korupsi dari sudut pandang al-Quran. Pembicaraan ini akan berangkat
dari perspektif al-Quran tentang korupsi, sebab-sebab terjadinya korupsi hingga
solusi yang ditawarkan al-Quran dalam upaya pemberantasan korupsi tersebut.
B. Korupsi Perspektif Al-Qur’an
Korupsi dapat dilihat secara bahasa (etimologis) dan
istilah (terminologis). Secara etimologis korupsi berasal dari kata korup
yang berarti buruk, rusak dan busuk. Korupsi ini berasal dari kata latin corrumpere
dan corruptio
yang berarti penyuapan dan corruptore yang berarti merusak. Di
dalam bahasa Inggris disebut corruption atau corrupt.
Di dalam bahasa Belanda disebut corruptie
atau korruptie.
Di dalam bahasa Indonesia disebut korupsi.[7]
Kata korupsi di
dalam al-Qur’an, memang tidak ditemukan sebagaimana istilah tersebut. Tetapi
bila ditelaah lebih jauh tentang makna dan pengertian korupsi ditemukan makna
yang sepadan dengan istilah korupsi, al-Qur’an menggunakan kata ghulul
yang merupakan bentuk masdar dari kata ghalla, menurut Mahmud Yunus[8],
kata ghulul mempunyai makna berkhianat atau menipu, dan terkadang
al-Qur’an juga menggunakan kata al-Khiyaanah.
Kamus Besar
Bahasa Indonesia mendefinisikan korupsi sebagai penyelewengan atau
penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan
pribadi maupun orang lain. [9] Definisi ini dapat dinterpretasikan bahwa
korupsi merupakan perilaku pejabat publik, baik politisi, pengusaha, pegawai
negeri, dan swasta maupun wiraswastawan (entrepreneur) yang secara tidak
wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya orang lain (keroninya
atau bukan), dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang secara langsung atau
tidak dipercayakan kepada mereka.
Berpijak dari
pengertian korupsi
diatas, dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa korupsi merupakan sebuah
penyelewengan atau penghianatan untuk kepentingan pribadi atau orang kelompok,
dalam arti lain penyalahgunaan sesuatu yang tidak pada aturan semestinya. Dalam
pandangan al-Qur’an bahwa korupsi (ghulul), merupakan tindakan kejahatan
yang menempati ancaman Allah yang amat berat, yang balasanya tidak luput dari
semua perbuatan penyelewengan yang pernah dilakukan seseorang. Allah SWT
menjelaskan dalam tentang hal ini dalam Q.S al-Imran: 161
$tBur tb%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& ¨@äót 4 `tBur ö@è=øót ÏNù't $yJÎ/ ¨@xî tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# 4 §NèO 4¯ûuqè? @à2 <§øÿtR $¨B ôMt6|¡x. öNèdur w tbqßJn=ôàã ÇÊÏÊÈ
. “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.
barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari
kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap
diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan)
setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”
Ditinjau dari
sisi historis ayat ini, Ibnu Mardawi meriwayatkan melalui jalur Abu Amr Ibnul
‘Ala, dari Mujahid dan Ibnu Abbas, bahwa orang-orang munafiq menuduh Rasulullah
mengambil sesuatu yang hilang (penyelewengan), maka Allah menurunkan ayat ini (dan
tidaklah mungkin seorang nabi berkhianat).
Makna kata ghulul
pada ayat ini, menurut Ibnu Katsir adalah khianat atau korupsi pada suatu
harta milik negara, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa
Rasululla SAW bersabda:
“ Barang siapa yang memegang kekuasa bagi kami untuk suatu pekerjaan,
sedang dia belum mempunyai tempat tinggal, maka hendaklah ia mengambil tempat
tinggal, atau belum mempunyai istri, maka segeralah menikah, atau belum
mempunyai pelayan makan hendaklah mengabil pelayan, atau belum mempunyai
kendaraan, maka hendaklah ia mengambil kendaraan. Dan barang siapa yang barang siapa
yang memperoleh selain dari itu maka sesungguhnya ia telah berkhianat”
Menurut M. Quraish Shihab: Kata yagulla yang
diterjemahkan diatas dengan “berkhianat”, oleh sementara ulama dipahami dalam
arti “bergegas mengambil sesuatu yang berharga dari rampasan perang”. Karena
itu, mereka memahaminya terbatas pada rampasan perang. Tetapi penggunaannya
dalam bahasa, kata tersebut memiliki pengertian khianat secara umum, baik
pengkhianatan dalam amanah yang diserahkan masyarakat, maupun pribadi kepada
pribadi.[10]
C. Sebab-Sebab Terjadinya Korupsi
Sebab yang
melatarbelakangi terjadinya tindak kejahatan korupsi, memang masing-masing
pengamat mempunyai persepsi yang berbeda-beda. Dalam hal ini, sebab yang cukup
umum seperti diungkapkan oleh Bibit S. Rianto, setidaknya ada lima hal yang
menjadi sebab tindak kejahan korupsi[11] :
1.
Sistem yang kurang baik dan tidak dilaksanakan secara benar yang diatur
dalam perundang-undangan Standar Profesi, Standar Operating Procedure (SOP);
2.
Integritas moral dari pejabat dan petugas yang rendah, suka menempuh jalan
pintas dan menghalalkan segala cara;
3.
Tingkat kesejahteraan karyawan yang dimanifestasikan pada tingkat
pendapatan (remunerasi) yang belum rasional. Pendapan yang cukup untuk
menghidupi keluarga, menyekolahkan anak, berobat, dan berekreasi secara
sederhana;
4.
Tingkat pengawasan (internal control, social control dan selfcontrol);
5.
Budaya taat kepada hukum (aturan);
Dari beberapa sebab terjadinya korupsi tersebut di atas, dalam hal menurut
penulis, faktor integritas moral, adalah faktor yang terlihat cukup sederhana
dan juga tidak terlalu sering diperhatikan, namun sejatinya jika ditelusuri
lebih jauh faktor inilah yang merupakan akar terjadinya tindak korupsi, dan ia
bisa berhenti (mati) apabila akarnya dapat dilumpuhkan dan dimusnahkan, karena
betapa tegasnya hukum dan canggihnya sistem yang dibuat, namun jika kontrol
diri (rendahnya tingkat kejujuran) lemah, tindak korupsi tetap akan terjadi di
sela-sela kesempatan pada sistem yang telah dibuat.
Dalam konteks Indonesia sendiri, pada 1998 Reformasi diyakini sebagai
sutau gerakan untuk keluar dari krisis yang menimpa bangsa. Mulanya yang
terjadi adalah krisis moneter, lalu merebak kepada krisis ekonomi secara
keseluruhan sehingga dirasakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia yang
dibanggakan ternyata keropos. Dan juga disadari pula bahwa krisis ekonomi disebabkan oleh krisis
politik (negara diperintah secara diktator) dan krisis hukum (hukum
dibuat untuk kepentingan penguasa, bukan mewujudkan keadilan)[12]
Kemudian diakui pula
bahwa semua krisis itu berasal dari krisis kepecayaan (kredibilitas). Penguasa
dan pejabat tidak mendapat kepercayaan rakyat. Karenya KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme) merajalela. Tidak adanya amanah (trust) dan KKN merupakan krisis moral
yang menimpa bangsa ini, sehingga krisis moral
yang lainpun berkembang pula, seperti contoh pemalas, ceroboh, tidak disiplin,
apatis, tidak bertangunggung jawab, egois, materealistik. Semua itu adalah
kondisi sosial yang sakit parah pada era reformasi ini.[13]
D. Pengertian Moraqabah (selfcontrol)
Dari segi bahasa
muraqabah berarti pengawasan dan pantauan. Karena sikap muraqabah ini
mencerminkan adanya pengawasan Allah terhadap dirinya. Sedangkan menurut
istilah muraqabah berarti suatu keyakinan yang dimiliki seseorang, bahwa Allah
SWT selalu mengawasinya, melihatnya, mendengarnya dan mengetahui setiap apapun
yang dilakukanya dalam setiap waktu, setiap saat, bahkan setiap kedipan mata
sekalipun.
Adapun urgensi dari sifat muqarabah ini adalah:
1.
Optimalnya ibadah yang
dilakukan seseorang, sehingga jauh dari kemaksiatan
2.
Adanya rasa kedekatan
dengan Allah
3.
Seseorang akan memiliki
firasat yang benar
Dalam upaya memberantas
kasus korupsi, maka sifat muraqabah ini sebagai bentuk upaya control diri
sesorang, dalam membentengi diri untuk terjerumus dalam segala bentuk
penyelewangan dan kemungkaran.
E. Muraqabah (Selfcontrol) Solusi Al-Qur’an dalam Upaya
Pemberantasan Korupsi
Dari sudut
pandang lima sebab yang meletarbelakangi terjadinya tindak pidana korupsi di
atas, maka upaya yang ditempuh untuk menjawab solusi al-Quran dalam upaya memberantas kasus korupsi berangkat dari 5 aspek tadi,
kemudian lihat lebih jauh pada aspek integritas moral, yang merupakan faktor
yang paling mendasar dalam tindak pidana korupsi, hal ini seperti hadits yang
disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW:
“ Sesungguhnya setiap amal itu tergantung kepada niatnya” (H.R
Muttafaqu’allaih)
Di sini Penulis
mengidentifikasi upaya pemberantasan
korupsi dilihat dari
faktor pengendalian diri, kepada
beberapa hal sebagaimana di bawah ini:
a.
Pengimplementasian Nilai-Nilai Spiritual Shalat dalam Etos Kerja
Memperhatikan permasalahan yang paling mendasar dalam tindak kejahatan
korupsi adalah, lemahnya selfcontrol (iman) pada seseorang, sehingga
bertapa hukum dan sistem telah dirancang sedemikian rupa, ketika kontrol diri
sesorang melemah, maka ia akan nekat menerobos sistem dan hukum itu dari
berbagai celah. Maka al-Qur’an menuntun orang agar tetap berada dalam jalur
yang lurus.
Shalat merupakan ibadah yang mengikat hubungan seseorang pada tuhanya,
tetapi tidak menutup hubungannya dengan sesama manusia. Allah SWT berfirman :
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) ÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( cÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷èt $tB tbqãèoYóÁs?
“Bacalah
apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”(Q.S al-Ankabut:
45)
Dalam ayat lain Allah memerintahkan agar selalu menerapkan nilai-nilai
spiritual shalat, dalam segala aktifitas, agar terhindar dari segala perbuatan
yang melanggar norma dan segala larangan Allah SWT, Allah berfirman :
#sÎ*sù ÞOçFøÒs% no4qn=¢Á9$# (#rãà2ø$$sù ©!$# $VJ»uÏ% #Yqãèè%ur 4n?tãur öNà6Î/qãZã_ 4 #sÎ*sù öNçGYtRù'yJôÛ$# (#qßJÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# 4 ¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã úüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B
“Maka
apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri,
di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman,
Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu
yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”(Q.S an-Nisa: 103)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini memerintahkan kepada umat Islam agar
selalu ingat kepada Allah dalam segala keadaan dan situasi.[14]
Anjuran untuk selalu memelihara iman, melalui cara mengimplementasikan
nilai-nilai shalat dalam betuk zikir amal pada setiap aktifitas dan keadaan,
dipersuntikan untuk orang-orang yang mempunyai selfcontrol rendah dalam
etos kerjanya. Sehingga dapat diyakini ketika seseorang sampai kepada keyakinan
dan kesadaran bahwa Allah Maha Tahu dan Maha Mengawasi di setiap sela-sela
kehidupan manusia. Maka hal ini menjadi sebuah solusi dalam pencegahan tindak
penyelewengan amanah (korupsi). Sebagai mana Firman Allah dalam Q.S al-Ankabut
ayat 45 (Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar).
b.
Perintah Jujur dan Amanah
Sikap jujur dalam mengemban amanah merupakan nilai moral yang tidak dapat
ditolak dalam upaya memberantas tindak penyelewengan, Allah SWT berfirman.
$pkr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãZtB#uä w (#qçRqèrB ©!$# tAqߧ9$#ur (#þqçRqèrBur öNä3ÏG»oY»tBr& öNçFRr&ur tbqßJn=÷ès?
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.”(Q.S al-Anfal: 27)
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman.
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/
“ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha Melihat.”( Q.S. an-Nisa:
58)
Imam Annawawi[15],
menjelaskan bahwa amanah adalah segala sesuatu yang diperintahkan untuk
menunaikan, baik dalam urusan agama (akhirat), maupun urusan dunia. Abu
Hurairah meriwayatkan :
“
Tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga, yaitu jikalau berkata dusta, jikalau berjanji
menyalahi - tidak menepati - dan jikalau diamanati - dipercaya untuk memegang
sesuatu amanat - lalu berkhianat." (H.R Muttafaq 'alaih)
sikap jujur dan amanah, sebagaimana diuraikan di atas, merupakan cara untuk
mengatasi tindak korupsi. Melihat jujur dan amanah adalah dimensi internal yang
paling menentukan sikap dan prilaku seseorang dalam bertindak.
c.
Kesadaran
tentang Prinsip Harta dalam Islam dan Pembelanjaannya Kepada Yang Baik
Dalam diri manusia terdapat prediposisi atau kecenderungan menyenangi
harta benda dan menjadikannya sebagai kebanggaan maupun alat untuk memuaskan
semua kebutuhan dan keinginannya. Hal ini ditegaskan dalam al-Quran surat Ali
Imran (3) ayat 14
z`Îiã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# ÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# ÆÏB É=yd©%!$# ÏpÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 Ï9ºs ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$#
Dijadikannya terasa indah dalam pandangan manusia terhadap
apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang
bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah
ladang, Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali
yang baik.
Korupsi merupakan salah satu bentuk ketidaksadaran
seorang individu tentang hakikat harta benda yang dimilikinya. Seorang koruptor
cenderung tidak mampu mengendalikan diri dalam memenuhi semua kebutuhannya. Pada
dasarnya, harta benda atau apa saja yang diinginkan sebagai perwujudan dari
sikap konsumerisme dan kesenangan hidup (mata’ul hayati ad-dunya) itu
menjadi bahan ujian bagi manusia. Mereka tidak menyadari bahwa ada
akhirat sebagai tempat kembali yang kekal.
Al-Quran surat
al-Qashash (28) ayat 60:
وَمَا أُوتِيتُمْ
مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا وَمَا عِنْدَ اللَّهِ
خَيْرٌ وَأَبْقَى أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Dan Apa saja (kekayaan, jabatan, keturunan) yang diberikan
kepada kamu, maka itu adalah kesenangan hidup duniawi dan perhiasannya, sedang
apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Tidakkan kamu
mengerti?
Ayat ini lebih tegas lagi menjelaskan tentang betapa
tidak sebandingnya antara kenikmatan duniawi dengan ukhrawi, ibarat setetes air
bila dibandingkan dengan samudera. Kehidupan dan kemewahan duniawi akan
terputus dengan sendirinya begitu ajal menjemput, sementara kehidupan akhirat
bersifat eternal (abadi). Menurut al-Razi, suatu kebodohan terbesar yang
dilakukan manusia apabila meninggalkan apa yang bermanfaat untuk kehidupan
akhirat dan melanggengkan hal-hal yang hanya terkait dengan kehidupannya di
dunia yang singkat.[16]
Dengan demikian, kesadaran tentang prinsip harta
dalam Islam dan pembelanjaannya kepada hal-hal yang baik perlu ditumbuhkan
dalam pribadi setiap muslim agar terhindar dari dorongan-dorongan melakukan
penyelewengan dalam mencari harta benda.
d.
Menghindari Sikap
Mubazir dan Melampaui Batas
Ayat yang menjelaskan tentang larangan
tabzir (mubazir) terdapat di dalam al-Quran Surat al-Isra (17)
ayat 26-27
ÏN#uäur #s 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# wur öÉjt7è? #·Éö7s? . ¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$# ( tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx.
Dan berikanlah hak-nya kepada kaum kerabat dekat, juga
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang
pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.
Sementara itu, ayat yang menjelaskan
tentang israf (melampaui batas) dapat dijumpai dalam al-Quran Surat
al-A’raf (7) ayat 31
ûÓÍ_t6»t tPy#uä (#räè{ ö/ä3tGt^Î yZÏã Èe@ä. 7Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uõ°$#ur wur (#þqèùÎô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) w =Ïtä tûüÏùÎô£ßJø9$#
wahai anak cucu Adam, pakailah
pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan munimlah, tetapi
jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan
At-Tabari didalam Tafsirnya
menjelaskan bahwa israf (berlebih-lebihan) adalah infak dalam perbuatan
maksiat meskipun dalam jumlah relatif kecil.[17]
Israf termasuk perilaku berlebih-lebihan yang tidak pada tempatnya dan
melampaui batasan wajar. Tabzir (mubazir) juga sering dimasukkan ke
dalam kategori berlebih-lebihan ini. Penggunaan kata israf dalam
al-Quran tidak hanya terkait dengan harta (konsumsi), tetapi segala sesuatu
yang ditempatkan tidak pada sewajarnya.
Gaya hidup boros tentu akan berhadapan dengan resiko
terkurasnya kekayaan yang menjadi miliknya dan akan berdampak pada kehausan
mencari konpensasi sumberdaya dengan cara apapun termasuk menghalalkan segala
cara karena kalau tidak tertutupi kebutuhannya dapat menghambat ‘rizkinya’
hidupnya. Jadi jalan keluar bagi dirinya yang tercepat adalah melakukan
perbuatan korupsi.
Karena itu, dalam kedua ayat di atas terdapat prinsip
membelanjakan harta yaitu larangan berperilaku berlebihan dalam arti tabzir
(boros) sebagaimana dalam surah al-Isra’ ayat 26-27 maupun israf (melampaui
batas) sebagaimana dalam surah al-A’raf ayat 31. Secara spesifik, ayat terakhir
menegaskan bahwa terdapat rangkaian perintah makan dan minum sebagai bentuk
konsumsi paling umum dilakukan manusia sepanjang tidak israf (berlebih-lebihan).
Berpakaian, makan, dan minum harus senantiasa dijaga agar tidak masuk dalam
klasifikasi berlebih-lebihan. Dengan demikian, perilaku korupsi yaitu mencari
harta secara tidak wajar dan melampaui batas dapat terhindarkan.
F. Kesimpulan
Berdasarkan kepada penjelasan diatas maka, dapat
disimpulkan bahwa upaya untuk memberantas korupsi melalui aspek yang paling
mendasar yaitu aspek pengendalian diri (selfcontrol) yang berusaha
menyatukan nilai-nilai tauhid atau keimanan kepada setiap pekerjaan (amal),
dalam perspektif al-Qur’an adalah, pertama upaya untuk mengimplementasikan
nilai-nilai shalat ke dalam bentuk zikir amal (sesungguhnya shalat mencegah
dari perbuatan keji dan mungkar), kedua perintah Allah untuk selalu
jujur dan amanah pada setiap tanggung jawab yang diemban, ketiga kesadaran
tentang harta menurut Islam serta pembelanjaanya kepada yang baik, keempat menghindari
sikap mubazir dan membatasi diri.
DAFTAR PUSTAKA
al-Munawar, Said
Agil Husin, Al-Qur’an Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki Jakarta:
Ciputat Press, 2005
al-Farmawi, Abdul Hayy, Metode
Tafsir Maudhu’i: suatu pengantar, Jakarta: Raja
Grafindo, 1994
Agus, Bustanuddin, Islam dan Pembangunan, Jakarta: Grafindo Persada,
2007
al-Razi,Fakhr al-Din Muhammad ibn Umar
ibn al-Husayn al-Tamimiy, Mafatih al- Gaib, (Beirut: Dar al-Kutb
al-‘Ilmiyyah , 1990) , Jilid 5 Juz 10
Ibnu
Kasir ad-Damasyiqi, Imam Abu Fida Ismail, Tafsir Ibnu Katsir,
Bandung: Sinar baru Al-Gensindo, 2000
Rifa’i,
Amzuli, Praktik Korupsi Sistematis: Berdayakan Hukum, Yogyakarta: Gama
Media, 2006
Rianto,
Bibit S., koruptor Go To Hell: Mengupas Anatomi di Indonesia, Jakarta:
Hikmah, 2009
Shihab, M. Quraish, Tafsir
al-Misbah, (Jakarta:Lentera Hati, 2000), cet I, Jilid II
Yunus,
Mahmud, Kamus: Arab-Indonesia, Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyah, 1989
Nawaw i, Imam, Riyadu
Shalihin
[1] Romli Atmasasmita, “Prospek Penanggulangan Korupsi di
Indonesia Memasuki Abad XXI: Suatu Reorientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di
Indonesia”, Disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya dalam Ilmu
Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, 25 September
1999, hlm. 5.
[2] Amzuli Rifa’i, Praktik Korupsi Sistematis: Berdayakan Hukum? Dalam
Suyitno dkk. (ed), Korupsi, Hukum dan Moralitas Agama: Memecahkan Fiqih
Antikorupsi, (Yogyakarta: Gama Media, 2006), hlm. 12
[3] http://www.waspada.co.id/kemiskinan-jadi-masalah-terbesar-dunia. diakses pada hari minggu 28
Oktober 2013
[6] Tafsir Tematik
(Tafsir maudhu’i) maksudnya adalah membahas ayat-ayat al-Quran sesuai
dengan tema dan judul yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, penafsir yang
memakai metode ini akan meneliti ayat-ayat al-Quran dan melakukan analisis
berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok
permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga
kemungkinan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak
segala kritik. Lihat Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i: suatu
pengantar, Suryan A. Jamrah (penerj.), (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), hal.
36-37
[7] Nur Syam,
Agama Pasti Anti Korupsi, http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=401, diakses tanggal 7 November 2013
[9] Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Kedua, (Jakarta:Balai Pustaka, 1999), h. 462
[10] Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta:Lentera Hati, 2000), cet I, Jilid II,
h. 250-251
[11] Bibit S. Rianto, koruptor Go To Hell: Mengupas Anatomi di Indonesia, (Jakarta:
Hikmah, 2009), h. 62
[14] Imam Abu Fida Ismail Ibnu Kasir ad-Damasyiqi, Tafsir Ibnu Katsir, (
Bandung: Sinar baru Al-Gensindo, 2000),
h. 426
[16] Fakhr al-Din Muhammad ibn Umar ibn al-Husayn
al-Tamimiy al-Razi, Mafatih al-Gaib, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah ,
1990) , Juz 12, h. 101
[17] Muhammad ibn
Jarir al-Tabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Quran, Juz 19, h. 298
Tidak ada komentar:
Posting Komentar