Jumat, 29 Agustus 2014

TINJAUAN AL-QUR’AN TENTANG MURAQABAH (SELFCONTROL) SEBAGAI TINDAKAN PREVENTIF DALAM UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI

TINJAUAN AL-QUR’AN TENTANG MURAQABAH (SELFCONTROL) SEBAGAI TINDAKAN PREVENTIF DALAM UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI
Oleh : Dian Siswanto
A.    Pendahuluan
Korupsi adalah kasus yang paling dilematis yang dihadapai oleh hampir setiap bangsa dan negara dalam beberapa dekade ini,  salah satu kejahatan yang menjadi perhatian besar dunia di era modern (extra ordinary crime), karena ia dapat merusak sistem tatanan negara, sistem sosial, sistem ekonomi dan moral suatu bangsa dan negara. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) lembaga ini sepakat berperan aktif dalam upaya pemberantasan korupsi dan diwujudkan dalam suatu perjanjian yang disebut “The OECD Anti Corruption Treaty” yang ditandatangani  oleh 29 pada tahun 1998.[1]
Bentuk perjanjian yang dilakukan oleh 29 negara tersebut, mengindikasikan bahwa korupsi adalah masalah kejahatan yang menjadi kajian serius oleh dunia. Lebih jauh, Achmad Ali, seperti dikutip oleh Amzulian Rifa’i, menyatakan bahwa kondisi korupsi saat sekarang ini sudah memasuki “ keadaan tidak berpengharapan”.[2] Di sisi lain, jika ditinjau dari dampak yang ditimbulkan, kemiskinan merupakan dampak nyata dari tindak kejahatan ini. Sebuah hasil survei yang dipublikasikan oleh Sam Mountford (Direktur Riset Globe Scan) melalui BBC pada 17 Januari 2012 menempatkan kemiskinan sebagai masalah paling serius yang dihadapi masyarakat dunia dibanding masalah perubahan iklim, terorisme, dan perang. Presentasi survei adalah sebagai berikut; kemiskinan ekstrim 71%, lingkungan 64%, meningkatnya harga pangan dan energi 63%, terorisme dan HAM serta penyebaran penyakit 59%, malah ekonomi dunia 58%, perang 57%. Penelitian ini dilakukan terhadap 25 ribu orang lebih dari 23 negara.[3]
Dalam konteks Indonesia, Political and Economic Risk Consultantcy (PERC) menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia yang berada di bawah Vietnam dan Filipina.[4] Hal ini memang sangat mengejutkan, karena Indonesia merupakn negara mayoritas muslim terbesar di dunia.
Keterpurukan Indonesia dalam kasus korupsi saat ini, juga berdampak kepada citra umat Islam di dunia, karena pelaku korupsi di Indonesia pada umumnya berlatar belakang agama Islam. Secara normatif hal ini memang sangat bertentangan dengan ajaran Islam, Allah SWT berfirman :
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ
“Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S al-Ankabut: 45)
Dasar normatif ayat di atas dihubungkan dengan realita kasus korupsi yang terjadi di tengah-tengah umat Islam (Indonesia), memang terlihat ada suatu ketimpangan dan apa yang telah terjadi bukanlah yang seharusnya. Hal ini mengindikasikan bahwa umat Islam hari ini mengalami krisis spiritualitas ketuhanan, berpisahnya antara iman dan amal. Sehingga fungsi dari pada shalat terlihat tidak terimplementasikan dalam kehidupan.  Dalam pandangan Prof. Dr. Said Agil Husin Munawar, M.A bahwa krisis besar yang melanda umat manusia tidak akan dapat diselesaikan dengan keunggulan iptek sendiri dan kebebasan ideologi yang dianut oleh negara-negara terkemuka, di sinilah kemudian agama dilirik sebagai harapan dan benteng terakhir yang akan menyelamatkan manusia dari kehancuran yang  mengerikan.[5]
Bagi Umat Islam yang meyakini al-Quran sebagai pedoman hidupnya, dalam sebuah pretensi mengungkapkan salah satu ayatnya:”Sesungguhnya al-Quran ini menunjukkan kepada jalan yang paling lurus”(Q.S al-Isra: 9) Tentu untuk membuktikan klaim ayat ini perlu dilakukan kajian komprehensip mengenai topik korupsi dalam al-Quran.  Berdasarkan hal itu, tulisan ini akan mencoba menjelaskan wawasan al-Quran tentang upaya pemberantasan korupsi melalui pendekatan tematik[6] hingga diharapkan akan dapat diperoleh suatu gambaran yang utuh dan objektif mengenai korupsi dari sudut pandang al-Quran. Pembicaraan ini akan berangkat dari perspektif al-Quran tentang korupsi, sebab-sebab terjadinya korupsi hingga solusi yang ditawarkan al-Quran dalam upaya pemberantasan korupsi tersebut.

B.     Korupsi Perspektif Al-Qur’an

Korupsi dapat dilihat secara bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis).  Secara etimologis korupsi berasal dari kata korup yang berarti buruk, rusak dan busuk. Korupsi ini berasal dari kata latin corrumpere dan corruptio yang berarti penyuapan dan corruptore yang berarti merusak. Di dalam bahasa Inggris disebut corruption atau corrupt.   Di  dalam bahasa Belanda disebut corruptie atau korruptie.  Di  dalam bahasa Indonesia disebut korupsi.[7]
Kata korupsi di dalam al-Qur’an, memang tidak ditemukan sebagaimana istilah tersebut. Tetapi bila ditelaah lebih jauh tentang makna dan pengertian korupsi ditemukan makna yang sepadan dengan istilah korupsi, al-Qur’an menggunakan kata ghulul yang merupakan bentuk masdar dari kata ghalla, menurut Mahmud Yunus[8], kata ghulul mempunyai makna berkhianat atau menipu, dan terkadang al-Qur’an juga menggunakan kata al-Khiyaanah.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan korupsi sebagai penyelewengan atau penggelapan  uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi maupun orang lain. [9]  Definisi ini dapat dinterpretasikan bahwa korupsi merupakan perilaku pejabat publik, baik politisi, pengusaha, pegawai negeri, dan swasta maupun wiraswastawan (entrepreneur) yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya orang lain (keroninya atau bukan), dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang secara langsung atau tidak dipercayakan kepada mereka.
Berpijak dari pengertian korupsi diatas, dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa korupsi merupakan sebuah penyelewengan atau penghianatan untuk kepentingan pribadi atau orang kelompok, dalam arti lain penyalahgunaan sesuatu yang tidak pada aturan semestinya. Dalam pandangan al-Qur’an bahwa korupsi (ghulul), merupakan tindakan kejahatan yang menempati ancaman Allah yang amat berat, yang balasanya tidak luput dari semua perbuatan penyelewengan yang pernah dilakukan seseorang. Allah SWT menjelaskan dalam tentang hal ini dalam Q.S al-Imran: 161
$tBur tb%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& ¨@äótƒ 4 `tBur ö@è=øótƒ ÏNù'tƒ $yJÎ/ ¨@xî tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 §NèO 4¯ûuqè? @à2 <§øÿtR $¨B ôMt6|¡x. öNèdur Ÿw tbqßJn=ôàムÇÊÏÊÈ
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”
Ditinjau dari sisi historis ayat ini, Ibnu Mardawi meriwayatkan melalui jalur Abu Amr Ibnul ‘Ala, dari Mujahid dan Ibnu Abbas, bahwa orang-orang munafiq menuduh Rasulullah mengambil sesuatu yang hilang (penyelewengan), maka Allah menurunkan ayat ini (dan tidaklah mungkin seorang nabi berkhianat).
Makna kata ghulul pada ayat ini, menurut Ibnu Katsir adalah khianat atau korupsi pada suatu harta milik negara, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Rasululla SAW bersabda:
“ Barang siapa yang memegang kekuasa bagi kami untuk suatu pekerjaan, sedang dia belum mempunyai tempat tinggal, maka hendaklah ia mengambil tempat tinggal, atau belum mempunyai istri, maka segeralah menikah, atau belum mempunyai pelayan makan hendaklah mengabil pelayan, atau belum mempunyai kendaraan, maka hendaklah ia mengambil kendaraan. Dan barang siapa yang barang siapa yang memperoleh selain dari itu maka sesungguhnya ia telah berkhianat”
Menurut M. Quraish Shihab: Kata yagulla yang diterjemahkan diatas dengan “berkhianat”, oleh sementara ulama dipahami dalam arti “bergegas mengambil sesuatu yang berharga dari rampasan perang”. Karena itu, mereka memahaminya terbatas pada rampasan perang. Tetapi penggunaannya dalam bahasa, kata tersebut memiliki pengertian khianat secara umum, baik pengkhianatan dalam amanah yang diserahkan masyarakat, maupun pribadi kepada pribadi.[10]

C.    Sebab-Sebab Terjadinya Korupsi
Sebab yang melatarbelakangi terjadinya tindak kejahatan korupsi, memang masing-masing pengamat mempunyai persepsi yang berbeda-beda. Dalam hal ini, sebab yang cukup umum seperti diungkapkan oleh Bibit S. Rianto, setidaknya ada lima hal yang menjadi sebab tindak kejahan korupsi[11] :
1.      Sistem yang kurang baik dan tidak dilaksanakan secara benar yang diatur dalam perundang-undangan Standar Profesi, Standar Operating Procedure (SOP);
2.      Integritas moral dari pejabat dan petugas yang rendah, suka menempuh jalan pintas dan menghalalkan  segala cara;
3.      Tingkat kesejahteraan karyawan yang dimanifestasikan pada tingkat pendapatan (remunerasi) yang belum rasional. Pendapan yang cukup untuk menghidupi keluarga, menyekolahkan anak, berobat, dan berekreasi secara sederhana;
4.      Tingkat pengawasan (internal control, social control dan selfcontrol);
5.      Budaya taat kepada hukum (aturan);
Dari beberapa sebab terjadinya korupsi tersebut di atas, dalam hal menurut penulis, faktor integritas moral, adalah faktor yang terlihat cukup sederhana dan juga tidak terlalu sering diperhatikan, namun sejatinya jika ditelusuri lebih jauh faktor inilah yang merupakan akar terjadinya tindak korupsi, dan ia bisa berhenti (mati) apabila akarnya dapat dilumpuhkan dan dimusnahkan, karena betapa tegasnya hukum dan canggihnya sistem yang dibuat, namun jika kontrol diri (rendahnya tingkat kejujuran) lemah, tindak korupsi tetap akan terjadi di sela-sela kesempatan pada sistem yang telah dibuat.
Dalam konteks Indonesia sendiri, pada 1998 Reformasi diyakini  sebagai sutau gerakan untuk keluar dari krisis yang menimpa bangsa. Mulanya yang terjadi adalah krisis moneter, lalu merebak kepada krisis ekonomi secara keseluruhan sehingga dirasakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia yang dibanggakan ternyata keropos. Dan juga disadari pula bahwa krisis ekonomi disebabkan oleh krisis politik (negara diperintah secara diktator) dan krisis hukum (hukum dibuat untuk kepentingan penguasa, bukan mewujudkan keadilan)[12]
Kemudian diakui pula bahwa semua krisis itu berasal dari krisis kepecayaan (kredibilitas). Penguasa dan pejabat tidak mendapat kepercayaan rakyat. Karenya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) merajalela. Tidak adanya amanah (trust) dan KKN merupakan krisis moral yang menimpa bangsa ini, sehingga krisis moral yang lainpun berkembang pula, seperti contoh pemalas, ceroboh, tidak disiplin, apatis, tidak bertangunggung jawab, egois, materealistik. Semua itu adalah kondisi sosial yang sakit parah pada era reformasi ini.[13]
D.    Pengertian Moraqabah (selfcontrol)
Dari segi bahasa muraqabah berarti pengawasan dan pantauan. Karena sikap muraqabah ini mencerminkan adanya pengawasan Allah terhadap dirinya. Sedangkan menurut istilah muraqabah berarti suatu keyakinan yang dimiliki seseorang, bahwa Allah SWT selalu mengawasinya, melihatnya, mendengarnya dan mengetahui setiap apapun yang dilakukanya dalam setiap waktu, setiap saat, bahkan setiap kedipan mata sekalipun.
Adapun urgensi dari sifat muqarabah ini adalah:
1.      Optimalnya ibadah yang dilakukan seseorang, sehingga jauh dari kemaksiatan
2.      Adanya rasa kedekatan dengan Allah
3.      Seseorang akan memiliki firasat yang benar
Dalam upaya memberantas kasus korupsi, maka sifat muraqabah ini sebagai bentuk upaya control diri sesorang, dalam membentengi diri untuk terjerumus dalam segala bentuk penyelewangan dan kemungkaran.

E.  Muraqabah (Selfcontrol) Solusi Al-Qur’an dalam Upaya Pemberantasan Korupsi
Dari sudut pandang lima sebab yang meletarbelakangi terjadinya tindak pidana korupsi di atas, maka upaya yang ditempuh untuk menjawab solusi al-Quran dalam upaya memberantas kasus korupsi berangkat dari 5 aspek tadi, kemudian lihat lebih jauh pada aspek integritas moral, yang merupakan faktor yang paling mendasar dalam tindak pidana korupsi, hal ini seperti hadits yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW:
“ Sesungguhnya setiap amal itu tergantung kepada niatnya” (H.R Muttafaqu’allaih)
Di sini Penulis mengidentifikasi upaya pemberantasan korupsi dilihat dari faktor pengendalian diri,  kepada beberapa hal sebagaimana di bawah ini:

a.      Pengimplementasian Nilai-Nilai Spiritual Shalat dalam Etos Kerja
Memperhatikan permasalahan yang paling mendasar dalam tindak kejahatan korupsi adalah, lemahnya selfcontrol (iman) pada seseorang, sehingga bertapa hukum dan sistem telah dirancang sedemikian rupa, ketika kontrol diri sesorang melemah, maka ia akan nekat menerobos sistem dan hukum itu dari berbagai celah. Maka al-Qur’an menuntun orang agar tetap berada dalam jalur yang lurus.
Shalat merupakan ibadah yang mengikat hubungan seseorang pada tuhanya, tetapi tidak menutup hubungannya dengan sesama manusia. Allah SWT berfirman :
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs?
“Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang   lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Q.S al-Ankabut: 45)

Dalam ayat lain Allah memerintahkan agar selalu menerapkan nilai-nilai spiritual shalat, dalam segala aktifitas, agar terhindar dari segala perbuatan yang melanggar norma dan segala larangan Allah SWT, Allah berfirman :
#sŒÎ*sù ÞOçFøŠŸÒs% no4qn=¢Á9$# (#rãà2øŒ$$sù ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNà6Î/qãZã_ 4 #sŒÎ*sù öNçGYtRù'yJôÛ$# (#qßJŠÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# 4 ¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã šúüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B
“Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”(Q.S an-Nisa: 103)

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini memerintahkan kepada umat Islam agar selalu ingat kepada Allah dalam segala keadaan dan situasi.[14]
Anjuran untuk selalu memelihara iman, melalui cara mengimplementasikan nilai-nilai shalat dalam betuk zikir amal pada setiap aktifitas dan keadaan, dipersuntikan untuk orang-orang yang mempunyai selfcontrol rendah dalam etos kerjanya. Sehingga dapat diyakini ketika seseorang sampai kepada keyakinan dan kesadaran bahwa Allah Maha Tahu dan Maha Mengawasi di setiap sela-sela kehidupan manusia. Maka hal ini menjadi sebuah solusi dalam pencegahan tindak penyelewengan amanah (korupsi). Sebagai mana Firman Allah dalam Q.S al-Ankabut ayat 45 (Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar).

b.   Perintah Jujur dan Amanah
Sikap jujur dalam mengemban amanah merupakan nilai moral yang tidak dapat ditolak dalam upaya memberantas tindak penyelewengan, Allah SWT berfirman.
$pkšr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qçRqèƒrB ©!$# tAqߧ9$#ur (#þqçRqèƒrBur öNä3ÏG»oY»tBr& öNçFRr&ur tbqßJn=÷ès?
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.”(Q.S al-Anfal: 27)

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman.
 ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/
“  Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.”( Q.S. an-Nisa: 58)
Imam Annawawi[15], menjelaskan bahwa amanah adalah segala sesuatu yang diperintahkan untuk menunaikan, baik dalam urusan agama (akhirat), maupun urusan dunia. Abu Hurairah meriwayatkan :
“ Tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga, yaitu jikalau berkata dusta, jikalau berjanji menyalahi - tidak menepati - dan jikalau diamanati - dipercaya untuk memegang sesuatu amanat - lalu berkhianat." (H.R Muttafaq 'alaih)

sikap jujur dan amanah, sebagaimana diuraikan di atas, merupakan cara untuk mengatasi tindak korupsi. Melihat jujur dan amanah adalah dimensi internal yang paling menentukan sikap dan prilaku seseorang dalam bertindak.

c.    Kesadaran tentang Prinsip Harta dalam Islam dan Pembelanjaannya Kepada Yang Baik
        Dalam diri manusia terdapat prediposisi atau kecenderungan menyenangi harta benda dan menjadikannya sebagai kebanggaan maupun alat untuk memuaskan semua kebutuhan dan keinginannya. Hal ini ditegaskan dalam al-Quran surat Ali Imran (3) ayat 14
z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$#
Dijadikannya terasa indah dalam pandangan manusia terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang, Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.
Korupsi merupakan salah satu bentuk ketidaksadaran seorang individu tentang hakikat harta benda yang dimilikinya. Seorang koruptor cenderung tidak mampu mengendalikan diri dalam memenuhi semua kebutuhannya. Pada dasarnya, harta benda atau apa saja yang diinginkan sebagai perwujudan dari sikap konsumerisme dan kesenangan hidup (mata’ul hayati ad-dunya) itu menjadi bahan ujian bagi manusia. Mereka tidak menyadari bahwa ada akhirat sebagai tempat kembali yang kekal.
Al-Quran surat al-Qashash (28) ayat 60:
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Dan Apa saja (kekayaan, jabatan, keturunan) yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kesenangan hidup duniawi dan perhiasannya, sedang apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Tidakkan kamu mengerti?
Ayat ini lebih tegas lagi menjelaskan tentang betapa tidak sebandingnya antara kenikmatan duniawi dengan ukhrawi, ibarat setetes air bila dibandingkan dengan samudera. Kehidupan dan kemewahan duniawi akan terputus dengan sendirinya begitu ajal menjemput, sementara kehidupan akhirat bersifat eternal (abadi). Menurut al-Razi, suatu kebodohan terbesar yang dilakukan manusia apabila meninggalkan apa yang bermanfaat untuk kehidupan akhirat dan melanggengkan hal-hal yang hanya terkait dengan kehidupannya di dunia yang singkat.[16]
Dengan demikian, kesadaran tentang prinsip harta dalam Islam dan pembelanjaannya kepada hal-hal yang baik perlu ditumbuhkan dalam pribadi setiap muslim agar terhindar dari dorongan-dorongan melakukan penyelewengan dalam mencari harta benda.
d.   Menghindari Sikap Mubazir dan Melampaui Batas
Ayat yang menjelaskan tentang larangan tabzir (mubazir) terdapat di dalam  al-Quran Surat al-Isra (17) ayat 26-27
ÏN#uäur #sŒ 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# Ÿwur öÉjt7è? #·ƒÉö7s? . ¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$# ( tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx.
Dan berikanlah hak-nya kepada kaum kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.
Sementara itu, ayat yang menjelaskan tentang israf (melampaui batas) dapat dijumpai dalam al-Quran Surat al-A’raf (7) ayat 31
 ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä (#räè{ ö/ä3tGt^ƒÎ yZÏã Èe@ä. 7Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uŽõ°$#ur Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä tûüÏùÎŽô£ßJø9$#
wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan munimlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan
   At-Tabari didalam Tafsirnya menjelaskan bahwa israf (berlebih-lebihan) adalah infak dalam perbuatan maksiat meskipun dalam jumlah relatif kecil.[17] Israf termasuk perilaku berlebih-lebihan yang tidak pada tempatnya dan melampaui batasan wajar. Tabzir (mubazir) juga sering dimasukkan ke dalam kategori berlebih-lebihan ini. Penggunaan kata israf  dalam al-Quran tidak hanya terkait dengan harta (konsumsi), tetapi segala sesuatu yang ditempatkan tidak pada sewajarnya.
Gaya hidup boros tentu akan berhadapan dengan resiko terkurasnya kekayaan yang menjadi miliknya dan akan berdampak pada kehausan mencari konpensasi sumberdaya dengan cara apapun termasuk menghalalkan segala cara karena kalau tidak tertutupi kebutuhannya dapat menghambat ‘rizkinya’ hidupnya. Jadi jalan keluar bagi dirinya yang tercepat adalah melakukan perbuatan korupsi.
Karena itu, dalam kedua ayat di atas terdapat prinsip membelanjakan harta yaitu larangan berperilaku berlebihan dalam arti tabzir  (boros) sebagaimana dalam surah al-Isra’ ayat 26-27 maupun israf (melampaui batas) sebagaimana dalam surah al-A’raf ayat 31. Secara spesifik, ayat terakhir menegaskan bahwa terdapat rangkaian perintah makan dan minum sebagai bentuk konsumsi paling umum dilakukan manusia sepanjang tidak israf (berlebih-lebihan). Berpakaian, makan, dan minum harus senantiasa dijaga agar tidak masuk dalam klasifikasi berlebih-lebihan. Dengan demikian, perilaku korupsi yaitu mencari harta secara tidak wajar dan melampaui batas dapat terhindarkan.
F.     Kesimpulan
Berdasarkan kepada penjelasan diatas maka, dapat disimpulkan bahwa upaya untuk memberantas korupsi melalui aspek yang paling mendasar yaitu aspek pengendalian diri (selfcontrol) yang berusaha menyatukan nilai-nilai tauhid atau keimanan kepada setiap pekerjaan (amal), dalam perspektif al-Qur’an adalah, pertama upaya untuk mengimplementasikan nilai-nilai shalat ke dalam bentuk zikir amal (sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar), kedua perintah Allah untuk selalu jujur dan amanah pada setiap tanggung jawab yang diemban, ketiga kesadaran tentang harta menurut Islam serta pembelanjaanya kepada yang baik, keempat menghindari sikap mubazir dan membatasi diri.






























DAFTAR PUSTAKA
al-Munawar, Said Agil Husin, Al-Qur’an Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki Jakarta: Ciputat Press, 2005
al-Farmawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i: suatu pengantar, Jakarta: Raja Grafindo, 1994
Agus, Bustanuddin, Islam dan Pembangunan, Jakarta: Grafindo Persada, 2007
al-Razi,Fakhr al-Din Muhammad ibn Umar ibn al-Husayn al-Tamimiy, Mafatih al-  Gaib, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah , 1990) , Jilid 5 Juz 10
Ibnu Kasir ad-Damasyiqi, Imam Abu Fida Ismail, Tafsir Ibnu Katsir, Bandung:  Sinar baru Al-Gensindo, 2000
Rifa’i, Amzuli, Praktik Korupsi Sistematis: Berdayakan Hukum, Yogyakarta: Gama Media, 2006

Rianto, Bibit S., koruptor Go To Hell: Mengupas Anatomi di Indonesia, Jakarta: Hikmah, 2009
Shihab, M. Quraish,  Tafsir al-Misbah, (Jakarta:Lentera Hati, 2000), cet I, Jilid II
Yunus, Mahmud, Kamus: Arab-Indonesia, Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyah, 1989
Nawaw i, Imam, Riyadu Shalihin






[1] Romli Atmasasmita, “Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad XXI: Suatu Reorientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia”, Disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, 25 September 1999, hlm. 5.
[2] Amzuli Rifa’i, Praktik Korupsi Sistematis: Berdayakan Hukum? Dalam Suyitno dkk. (ed), Korupsi, Hukum dan Moralitas Agama: Memecahkan Fiqih Antikorupsi, (Yogyakarta: Gama Media, 2006), hlm. 12
[3] http://www.waspada.co.id/kemiskinan-jadi-masalah-terbesar-dunia. diakses pada hari minggu 28 Oktober 2013
[4] Republika.co.id, Perkara Korupsi di Indonesia, diakses pada, 04/11/2013. Pukul 21.00 Wib
4 Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h.  375
[6] Tafsir Tematik (Tafsir maudhu’i) maksudnya adalah membahas ayat-ayat al-Quran sesuai dengan tema dan judul yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, penafsir yang memakai metode ini akan meneliti ayat-ayat al-Quran dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga kemungkinan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala kritik. Lihat Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i: suatu pengantar, Suryan A. Jamrah (penerj.), (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), hal. 36-37
[7] Nur Syam, Agama Pasti Anti Korupsi, http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=401, diakses tanggal 7 November 2013
[8] Mahmud Yunus, Kamus: Arab-Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyah, 1989), h. 298
[9] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta:Balai Pustaka, 1999), h. 462
[10] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta:Lentera Hati, 2000), cet I, Jilid II, h. 250-251
[11] Bibit S. Rianto, koruptor Go To Hell: Mengupas Anatomi di Indonesia, (Jakarta: Hikmah, 2009), h. 62
[12] Bustanuddin Agus, Islam dan Pembangunan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2007), h. 20
[13] Ibid
[14] Imam Abu Fida Ismail Ibnu Kasir ad-Damasyiqi, Tafsir Ibnu Katsir, ( Bandung:  Sinar baru Al-Gensindo, 2000), h. 426
[15] Imam Nawawi, Riyadu Shalihin, (tt.th), h. 152
[16] Fakhr al-Din Muhammad ibn Umar ibn al-Husayn al-Tamimiy al-Razi, Mafatih al-Gaib, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah , 1990) , Juz 12, h. 101
[17] Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Quran, Juz 19, h. 298

Tidak ada komentar: