KONSEP INTEGRASI AGAMA DAN SAINS
DALAM PERSPEKTIF
AL-QUR’AN
( Suatau tela’ah kritis terhadap konsep dikotomi ilmu pengetahuan )
Oleh :
Dian Siswanto
A.
Pendahuluan
Dikotomi agama dan sains bukanlah merupakan isu baru
dalam beberapa dekade ini, banyak para pemikir yang beranggapan bahwa agama dan
sains merupakan dua kutub yang tidak dapat didamaikan.[1] Dewasa ini
istilah Ilmu Agama Islam dan Ilmu Umum sudah menjadi sebuah kosa kata yang
begitu familiar di tengah-tengah masyarakat dunia, seolah-seoalah istilah itu bukanlah
merupakan satu kesatuan, tidak mempunyai keterkaitan dan terpisah serta harus
berdiri sendiri.[2]
Ilmu Agama Islam berbasiskan pada wahyu dan hadits Nabi
SAW, sehingga ruang lingkup Ilmu Islam yang dipahami selama ini hanya seputar
seperti, Ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, Tasawuf, Kalam, Tafsir atau Ilmu Tafsir,
Hadits atau Ilmu Hadits, Sejarah Peradaban Islam, Pendidikan Islam, dan Dakwah
Islam. Selanjutnya
Ilmu Umum yang berbasiskan kepada penalaran akal dan data empirik juga mengalami perkembangan yang lebih pesat dibandingkan
dengan ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana tersebut sebelumnya.[3]
Ilmu-ilmu umum ini
secara garis besar dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, ilmu umum
yang bercorak
naturalis dengan alam raya dan fisik sebagai objek kajianya. Yang termasuk
dalam kajian ilmu ini antara lain : fisika, biologi, kedokteran, astronomi,
geologi, botani, dan lain sebagainya. Kedua, ilmu umum yang bercorak
sosiologis dengan prilaku sosial manusia sebagai objek kajianya. Yang termasuk
ke dalam kajian ini antara lain : antropologi, sosiologi, politik, ekonomi,
pendidikan, komunikasi, psikologi, dan lain sebagainya. Ketiga, ilmu
umum yang bercorak filosofis penalaran. Yang termasuk ke dalam ilmu ini antara
lain: filsafat, logika, seni dan ilmu humaniora lainya.[4]
Dalam praktik dewasa ini, ketidakharmonisan terjadi bukan
hanya saja terjadi antara ilmu agama dan ilmu umum, melainkan ketidakharmonisan
itu terjadi dalam intern ilmu-ilmu itu sendiri. Banyak faktor yang menyebabkan
ilmu-ilmu itu menjadi tidak harmonis atau dikotomis. Pada intern ilmu agama
misalnya, ketidakharmonisan tersebut banyak disebabkan oleh kepentingan
politik, metode berfikir serta aliran atau mazhab yang diyakininya, situasi dan
kondisi di mana seorang mujtahid berada, kecerdasan dan latar belakang
pendidikan serta hubungan sosial lainya. Sedangkan dalam intern ilmu umum
perbedaan terjadi karena metode dan pendekatan yang dilakukan, situasi sosial
politik, kecenderungan pribadi, kecerdasan dan keterbatasan pengetahuan, serta
ideologi yang diyakininya.[5]
Adapun terjadinya dikotomi antara ilmu agama Islam dan
ilmu umum, antara lain karena adanya perbedaan pada dataran antologi,
epistemologi dan aksiologi, kedua bidang ilmu pengetahuan tersebut. Sebagaimana
diketahui bahwa ilmu agama Islam bertolak dari wahyu yang mutlak benar dan
dibantu dengan penalaran dalam proses penggunaanya tidak boleh bertentangan
dengan wahyu. Sementara itu ilmu pengetahuan umum yang ada selama ini berasal
dari barat dan bersandar pada pandangan filsafat yang ateistik, materialistik,
sekularistik, empiristik, rasionalistik, bahkan hendonistik. Dua hal yang
menjadi dasar kedua bidang ilmu ini jelas amat berbeda, dan sulit dipertemukan.[6]
Dalam era
globalisasi ini, yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan transmisi ilmu
pengetahuan, agama seolah-olah semakin mendapatkan posisi yang semakin sempit,
karena pandangan manusia moderen terhadap agama sangat dipengaruhi oleh
perkembangan logika, mulai dari logika sederhana sampai kepada logika liberal,
yang berakibat manusia semakin materealistik dan mulai menolak hal-hal yang
berbau immaterial, bahkan dalam khazanah filsafat Kalr Marx yang telah lalu,
agama sama sekali tidak mendapat posisi, menurutnya bahwa agama hanyalah tanda
keterasingan manusia, tetapi bukanlah dasarnya. Agama hanyalah sebuah pelarian
karena realitas manusia memaksa untuk melarikan diri. Agama adalah relasi
hakikat manusia dengan angan-angan, karena hakikat manusia tidak mempunyai
realitas yang sungguh-sungguh. Dengan demikian agama adalah sekaligus ungkapan
penderitaan yang sungguh-sungguh dan proses penderitaan yang sungguh-sungguh.
Agama adalah keluhan makhluk yang tertekan , perasaan tanpa hati, sebagaimana
ia adalah roh zaman yang tanpa roh, ia adalah candu rakyat.[7]
Demikian
pandangan kaum skeptis ilmiah terhadap agama, dalam hal ini, seolah
memberikan isyarat kepada kita bahwa
agama merupakan hal yang maya yang sulit diterima dengan rasio. Namun pandangan
ateistik Kalr Marx terhadap agama ini, didorong oleh sudut pandang yang hanya
melihat pada sisi nilai-nilai sosial dan emosional manusia, tanpa memperhatikan
sisi-sisi universal agama.
Selanjutnya
dalam benturan antara sains dan agama, dalam hal ini adalah agama Islam.
Sejatinya Allah sangat mendorong agar
umat Islam menjadi umat yang unggul dibanding dengan umat-umat yang lain,
dengan benar-benar menjadikan Al-Qur’an dan hadits sebagai petunjuk dalam
setiap perjalanan kehidupan manusia. Muhammad Abduh berpendapat, bahwa
sesungguhnya agama Islam telah meletakkan prinsip dasar ajaran agamanya agar
dapat meraih keunggulan, kemakmuran, dan menolak semua konsep aturan yang
menyalahi aturan agamanya (syari’at).
Namun sejak wacana seputar pintu ijtihad telah
tertutup, maka ketika itu umat Islam mulai membatasi diri dari memahami dan
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan cenderung menutup diri dalam mengahadapi
segala persoalan zaman. Dalam pandangan Muhammad Abduh,
bahwa Islam tidak menerima adanya penindasan ilmu pengetahuan. Pada umat Islam
terdahulu, tidak ada penyiksaan, hukuman bakar hidup-hidup dan hukum gantung
bagi pengembang ilmu-ilmu alam dan pendukung akal kemanusiaan. Akan tetapi
agamawan sekarang (awal abad ke-20) merupakan musuh bagi ilmu-ilmu yang
berdasarkan akal.[8]
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis berpendapat
bahwa pemisahan ilmu (dikotomi), merupakan hal yang harus dikaji ulang,
terutama dengan menggunakan sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadits Nabi
Muhammad SAW, yang berfungsi sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia menuju
jalan yang sebaik-baiknya[9]
Menurutut
Quraish Shihab, dengan mengutip pendapat Whitehead dalam bukunya Science and
the Modren World yaitu, “ Bila kita menyadari betapa pentingnya agama
dengan ilmu pengetahuan, maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa sejarah
kita yang akan datang bergantung pada putusan generasi sekarang mengenai
hubungan antara keduanya”. Menurut Quraish Shihab, pendapat Whitehead ini
berdasarkan apa yang terjadi di Eropa pada abad ke-18, yang ketika itu gereja (pendeta)
di satu pihak dan ilmuan di pihak lain, tidak dapat mencapai kata sepakat
tentang hubungan antara kitab suci dan ilmu pengetahuan. Demikian pula halnya
bagi umat Islam, pengertian kita terhadap hubungan antara al-Qur’an dan ilmu
pengetahuan akan memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap agama dan sejarah
perkembangan manusia pada generasi-generasi yang akan datang[10]
B.
Perbedaan
Mendasar Antara Sain dan Agama
Antara ilmu (sains)
dan agama sebenarnya ada perbedaan yang cukup mendasar,[11]
pertama mind-set dasarnya berbeda. Ilmu berdasar pada etos otonomi
pemahamanan. Seperti ditekankan Francis Bacon dan Newton, sikap ilmiah sejati
berangkat dari keberanian berpikir dan mengamati sendiri tanpa bersandar pada
otoritas pendapat orang lain atau instansi supranatural apapun. Newton bahkan
lebih menekankan sikap keraguan lebih radikal. Misalnya, meskipun normalnya air
mengalir dari atas ke bawah, seorang ilmuan sejati mesti melihat kemungkinan,
bahwa air bisa saja mengalir ke atas, atau api membeku dan lain sebagainya.
Pendeknya sikap skeptis ilmuan
yang tak mudah percaya adalah kodrat seorang
ilmuan, sementara agama tentu saja sebaliknya. Sikap dasarnya
adalah kepercayaan dan kepasrahanya pada kehendak otoritas yang lain, terutama
otoritas Tuhan. Jadi jika dalam dunia keilmuan (sains) ketidakpercayaan (sebelum terbukti) adalah
sebuah keutamaan, dalam dunia keagamaan, kepercayaanlah yang menjadi keutamaan.
Kedua, ilmu relatif lebih terbuka terhadap
pandangan-pandangan baru asalkan masuk akal dan ditunjang bukti faktual yang memadai. Agama
sebaliknya, meski umumnya diyakini bahwa manusia wajib menggunakan akalnya
untuk memahami wahyu dan kitab suci,
dalam kenyataanya agama-agama cenderung sangat defensif terhadap pemahaman-pemahaman baru, bahkan agak tabu untuk
memerkarakan dirinya sendiri. Tidaklah mengherankan jika dibandingkan dengan
perkembangan ilmu yang sangat pesat, agama sering terasa tertinggal jauh.[12]
Ketiga, ranah utama wacana agama-agama adalah ranah
misteri-misteri terdalam kehidupan berserta makna-makna pengalaman, yang
sesungguhnya di luar wilayah atau di luar batas jangkauan ilmu-ilmu empirik.
Bahasa yang digunakanpun berbeda. Bahasa agama-agama lebih berupa bahasa mitos,
penuh metafora atau retorika, semetara bahasa ilmu adalah bahasa faktual,
lugas, dan literal.[13]
Sementara
itu dalam pendekatan konflik yang dikemukanan oleh Ian G. Barbour, didapat
suatu keyakinan bahwa agama dan sains tidak dapat dirujukan, karena
masing-masing keduanya mempunyai landasan yang berbeda. Menurut mazhab yang
berpendapat bahwa agama dan sains tidak akan pernah dapat disatukan, jika
sekiranya kita seorang ilmuan, maka akan terasa sulit untuk membayangkan
bagaimana kita secara jujur juga bisa serentak shaleh-beriman, setidak-tidaknya
dalam pengertian percaya kepada Tuhan. Alasan utama mereka menarik kesimpulan
ini ialah bahwa agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran
ajaran-ajaranya dengan tegas, padahal sains bisa melakukan hal itu. Agama
mencoba bersikap diam-diam dan tidak mau memberi petunjuk bukti konkrit tentang
keberadaan Tuhan. Di pihak lain, sains mau menguji semua hipotesis dan semua
teorinya berdasarkan “pengalaman”, agama tidak bisa melakukan hal tersebut
dengan cara yang bisa memuaskan pihak yang netral.[14]
Demikianlah pandangan dikotomis antara ilmu pengetahuan dan
agama, yang seolah
tidak mempunyai keterkaitan dan saling bertolak antara keduanya. Namun
al-Qur’an menjelaskan lebih lanjut dari pada kesimpulan yang telah dianggap
selesai di atas.
C.
Pengertian Ilmu Pengetahuan (Sains) dalam
Perspektif Al-Qur’an
Ilmu
pengetahuan lazim disebut ekwivalen dalam
bahasa Perancis, dan Science dalam bahasa Inggris, wissenchaft
dalam bahasa Jerman, wetensschap dalam bahasa Belanda. Sedangkan
dalam bahasa arab ilmu pengetahuan disebut dengan istilah al-‘ilm.[15]
Istilah ilmu di
dalam al-Qur’an menjadi sangat penting, karena ia mempunyai arti yang khusus.
Kata al-‘ilm dalam al-Qur’an menurut Franz Rosental sebagai berikut :
Dalam bahasa arab, ‘ilm tidak bisa digantikan pengertianya dengan
pengetahuan (knowledge), sungguhpun begitu, pengetahuan mengandung
kekurangmampuan dalam mengekspresikan semua kenyataan dan perasaan yang
terkandung di dalam kata ‘ilm, karena ‘ilm adalah salah satu dari setiap konsep
yang mendominasi dunia Islam dan memberi ciri khusus dalam segala
kompleksitasnya terhadap peradaban Islam. [16]
Menurut Rosental, ‘ilm tidak
bisa diartikan begitu saja dengan pengetahuan, karena kata ilmu itu
sendiri telah menjadi kebudayaan yang mempunyai arti khusus dalam Islam. Bahkan
Rosental lebih jauh mengungkapkan bahwa kata ‘ilm mempunyai makna yang
sangat dalam sehingga tak ada konsep lain yang berperan secara operatif dalam
pembentukan peradaban Islam. Ia menegaskan bahwa tak ada satupun di antara
istilah-istilah yang memiliki kedalaman makna dan keluasan penggunaanya yang
sama dengan kata ‘ilm tersebut.[17]
Menurut Quraish Shibah, bahwa kata “ilm” dengan
berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali.[18]
Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek
pengetahuan. Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa ilmu dari segi bahasa berarti
kejelasan, karena itu segala yang berbentuk dari akar hanya mempunyai cirri
kejelasan. Perhatikan misalnya kata ‘alam (bendera), ulmat (bibir
sumbing), a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dan
sebagainya. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.[19]
Ayat-ayat
Al-Qur’an yang di dalamnya terdapat kata ‘ilm pada umumnya berbicara
tentang tema sentral ilmu sebagai penyelamat bagi manusia dari berbagai
kehancuran, baik di dunia maupun di akhirat dengan topik : (1) proses
pencapaian ilmu dan objeknya (Q.S Al-Baqarah : 31-32), (2), klasifikasi Ilmu (
Q.S Al-Kahfi: 65), (3) ilmu hisab yang berkenaan dengan perhitungan bulan dan
tahun (Q.S An-Nahl: 5). Sementara itu Afzalur rahman ada 27 cabang ilmu yang
didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya : Ilmu Kosmologi,
Astronomi, Astrologi, Fisika, Matematika, Sejarah, Antropologi, Geograf, Geologi, Zoologi,
Ekonomi, Pertanian, Perdagangan, Arkeologi, Psikologi, Kimia, Kedokteran,
Sosiologi, Fisiologi dan lain sebagainya.[20]
Berdasarkan
aya-ayat Al-Qur’an yang memberikan petunjuk tentang berbagai cabang ilmu
pengetahuan, dengan demikian jelaslah bahwa Al-Qur’an sebagai dasar dan sumber
ajaran Islam juga berbicara tentang sains dan segala fenomena yang berkaitan
dengan alam. Namun demikian Al-Qur’an bukanlah buku tentang ilmu pengetahuan,
karena isyarat ayat Al-Qur’an tersebut belum disusun berdasarkan metodologi
ilmu pengetahuan serta yang dikemukakan dalam Al-Qur’an lebih pada
prinsip-prinsip, spirit serta kaidah dalam mengembangkan dalam mengembangan
berbagai macam ilmu pengetahuan tersebut.
Salah satu ayat yang mengisyaratkan agar kita mempelajari ilmu stronomi
misalnya, yang terdapat dalam Q.S Yunus: 5-6
uqèd
Ï%©!$#
@yèy_ [ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur
4
$tB t,n=y{ ª!$#
Ï9ºs
wÎ)
Èd,ysø9$$Î/ 4
ã@Å_Áxÿã ÏM»tFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt ÇÎÈ ¨bÎ) Îû É#»n=ÏG÷z$# È@ø©9$# Í$pk¨]9$#ur $tBur
t,n=yz ª!$# Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
;M»tUy
5Qöqs)Ïj9 cqà)Gt ÇÏÈ
“ Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
Mengetahui. Sesungguhnya pada pertukaran
malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi,
benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang
bertakwa.”
Pada Q.S
Yunus: 5-6 di atas, secara sederhana dapat kita pahami, bahwa Allah SWT.
menyeru kepada kita untuk mempelajari ilmu perhitungan untuk mengetahui
bilangan tahun dan bulan lewat peredaran bulan dan matahari. Namun demikian
pada setiap ayat yang memberi dorongan kepada kita untuk mempelajari sains,
Allah selalu memberikan gambaran akan tujuan yang hakiki dari aktifitas
mengamati dan mepelajari sains, yaitu agar kita mengenal Allah SWT lebih dekat
lewat tanda-tanda kebesaran Allah SWT, yang Ia tunjukan lewat setiap fenomena
alam ini.
D.
Konsep Sains Tauhidullah dalam Al-Qur’an
Ketika
Al-Qur’an diturunkan ilmu pengetahuan telah berkembang di Mesir, Yunani,
Romawi, India, Cina dan Persia. Namun ilmu-ilmu yang yang berada di
daerah–daerah tersebut sudah berada dalam kemandegan, tidak berkembang, karena
faktor yang bersifat politik. Pada saat itu Islam datang, filsafat Yunani sudah
tidak berkembang lagi di Athena, melainkan
berkembang di negara-negara di Timur Tengah, seperti Alexandria,
Nisisibi, Jundisapur dan sebagainya. Bahkan Neo Platonisme yang dikembangkan oleh Plotinus tumbuh dan
berkembang di Mesir.[21]
Selain itu filsafat Yunani juga dipengaruhi oleh pandangan mitologi Yunani yang
bersifat spekulatif. Ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu belum
didukung oleh data empiris yang didasarkan pada eksperimen. Dengan kata lain,
ilmu pengetahuan yang ada sebelum Islam tengah berada di tepi jurang kehancuran[22]
Sementara
itu Islam datang dengan Al-Qur’an yang memberikan petunjuk yang hakiki terhadap
segala persoalan dikotomi antara ilmu bumi dan ilmu langit (sains dan agama)
yang sangat dilematis. Al-Qur’an memberikan penjelasan bahwa tidak ada
perbedaan antara ilmu satu dengan yang lain, al-Qur’an menjelaskan secara
hakikat tentang ilmu-ilmu yang dianggap mempunyai posisi dan kedudukan yang
berbeda-beda oleh manusia.
Pembagian
adanya perbedaan antara ilmu agama dan sains, terjadi karena pandangan manusia
yang berkesimpulan bahwa hasil identifikasi ilmu berdasarkan sumber objek
kajian, maka objek ontologis yang dibahasnya wahyu (Al-Qur’an) termasuk penjelasan atas
wahyu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW berupa hadits, dengan menggunakan
metode ijtihad, maka yang dihasilkan adalah ilmu-ilmu agama, seperti teologi,
tafsir, hadits, tasawuf, dan lain sebagainya. Kemudian jika yang dibahas objek
kajianya adalah alam jagad raya, seperti bumi, langi, tumbuh-tumbuhan,
binantang, air, api, udara, bulan, matahari. Bintang dan lain sebagainya, maka
yang diperoleh adalah ilmu-ilmu kelaman (natural science), seperti
biologi, geografi, fisika, kimia, astronomi, dan lain sebagainya. Selanjutnya
jika yang dijadikan kajian objek ontologisnya adalah prilaku dalam segala
aspeknya, baik prilaku politik, prilaku ekonomi, prilaku budaya, prilaku agama
dan prilaku sosial, dan lain sebagainya, yang dilakukan dengan menggunakan
metode penelitian sosial, seperti wawancara, observasi, penelitian terlibat( grounded
research ), maka yang dihasilkan adalah ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu
politik, ilmu ekonomi, ilmu budaya, sosiologi agama, antropologi, dan
sebagainya. Selanjutnya apabila objek pemikiranya adalah pikiran atau pemikiran
yang mendalam dengan menggunakan metode mujadallah atau logika
terbimbing, maka yang dihasilkanya adalah filsafat dan ilmu-ilmu humaniora.[23]
Ilmu –ilmu tersebut seluruhnya pada hakikatnya
berasal dari Allah, karena sumber-sumber tersebut berupa wahyu, alam jagat raya
termasuk hukum-hukumnya di dalamnya, manusia dengan perilakunya, akal pikiranya
dan intusi batin seluruhnya ciptaan dan anugrah Allah yang diberikan kepada
manusia.
E.
Kesimpulan
Dalam perspektif Al-Qur’an, segala macam cabang ilmu
secara hakikat seluruhnya mempunyai keterkaitan dan berujung kepada titik yang
satu, yaitu tauhidullah, Allah selalu menyeru kepada manusia untuk
mempelajarai segala fenomena alam dan objek ilmu agar manusia dapat merenungi
akan tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Serta mengenal-Nya lebih dekat.
Oleh sebab itu istilah dikotomi ilmu pengetahuan yang
selama ini menjadi wacana perbincangan oleh para ilmuan, seyogyanya harus
melihat kembali bagaimana sebenarnya kehendak agama kepada sains. Karena jika
dilihat secara hakikat pada dasarnya tidak ada pertentangan yang
sungguh-sungguh.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahsin, Muhammad, Melacak
Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir Islami atas Sains, Bandung: Mizan, 2004
Abduh, Muhammad, Islam
Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat Madani, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2005
Januri,
M. Fauzan dan M. Alfan, Dialog Pemikiran Timur dan Barat, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2011
Haught, John, Perjumpaan Sains dan Agama dari
Konflik ke Dialog, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004
Muhammad Abu Syuhba, Abu Umar Muhammad, al Madkhal Lidirasaril Al-Qur’an Al-Karim,Riyadh: al-Mumlikah al-Arabiyah Syu’udiyah, 1987
Nata, Abuddin, dkk,
Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2005
Raharjo, Dawan, Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 4,
Vo. 1, Jakarta: Aksara Buana, 1990
Suseno, Franz
Magniz, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Upotis ke Perselisihan
Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000
Shihan, Qurasih, Membumikan
Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007
Saifuddin Anshari , Endang, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya:
Bina Ilmu, 1990
[1] Muhammad
Ahsin, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir Islami atas Sains, (Bandung:
Mizan, 2004), h.11
[2] Abuddin Nata
dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), h,1
[4] Ibid., Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan umum bergerak amat cepat,
sebagai akibat dan dampak nyata kegiatan penelitian yang didukung oleh etos
ilmiah yang tinggi, serta pendanaan dan peralatan yang lengkap. Ilmu pengetahuan
ini dahulunya dikuasai oleh umat Islam, namun kini sebagian besar dikuasai oleh
masyarakat Barat dan Eropa. Lihat Poeradisastra, Sumbangan Islam terhadap
Peradaban Eropa Barat, (Jakarta: P3, 1980), cet. I, hlm. 76 ; Muhammad R.
Mirza dan Muhammad Iqbal Siddiqi, Muslim Contribution to Science, (Pakistan:
Kazi Publication, 1986), cet. I, h. 17-29.
[7] Franz Magniz. Suseno, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme, ( Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), h.73.
[8] Muhammad
Abduh, Islam Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat Madani, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 157
[10]
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2007), h.46
[11]
Zainal Abidin
Bagir dkk, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan aksi, (Bandung:
Mizan, 2005), h.41
[14]
John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama dari
Konflik ke Dialog, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004), h. 2
[15]
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (
Surabaya: Bina Ilmu, 1990), h.47
[16]
Dawan Raharjo, Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 4, Vo.
1, (Jakarta: Aksara Buana,1990), “Ensiklopedia Al-Qur’an”, h.57
[18] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), cet. III, h. 434
[19]
Ibid
[20]
Abuddin Nata
dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), h, 79
[21]
Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan
Ilmu Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h,51
[22]
Ibid
[23]
Ibid., h. 52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar