Sabtu, 30 Agustus 2014

KONSEP INTEGRASI AGAMA DAN SAINS DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

KONSEP INTEGRASI AGAMA DAN SAINS
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
( Suatau tela’ah kritis terhadap konsep dikotomi ilmu pengetahuan )
Oleh : Dian Siswanto
(Mahasiswa Program Khusus Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang)




A.    Pendahuluan
Dikotomi agama dan sains bukanlah merupakan isu baru dalam beberapa dekade ini, banyak para pemikir yang beranggapan bahwa agama dan sains merupakan dua kutub yang tidak dapat didamaikan.[1]  Dewasa ini istilah Ilmu Agama Islam dan Ilmu Umum sudah menjadi sebuah kosa kata yang begitu familiar di tengah-tengah masyarakat dunia, seolah-seoalah istilah itu bukanlah merupakan satu kesatuan, tidak mempunyai keterkaitan dan terpisah serta harus berdiri sendiri.[2]
Ilmu Agama Islam berbasiskan pada wahyu dan hadits Nabi SAW, sehingga ruang lingkup Ilmu Islam yang dipahami selama ini hanya seputar seperti, Ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, Tasawuf, Kalam, Tafsir atau Ilmu Tafsir, Hadits atau Ilmu Hadits, Sejarah Peradaban Islam, Pendidikan Islam, dan Dakwah Islam. Selanjutnya Ilmu Umum yang berbasiskan kepada penalaran akal  dan data empirik juga mengalami perkembangan yang lebih pesat dibandingkan dengan ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana tersebut sebelumnya.[3]
Ilmu-ilmu umum ini secara garis besar dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, ilmu umum yang bercorak naturalis dengan alam raya dan fisik sebagai objek kajianya. Yang termasuk dalam kajian ilmu ini antara lain : fisika, biologi, kedokteran, astronomi, geologi, botani, dan lain sebagainya. Kedua, ilmu umum yang bercorak sosiologis dengan prilaku sosial manusia sebagai objek kajianya. Yang termasuk ke dalam kajian ini antara lain : antropologi, sosiologi, politik, ekonomi, pendidikan, komunikasi, psikologi, dan lain sebagainya. Ketiga, ilmu umum yang bercorak filosofis penalaran. Yang termasuk ke dalam ilmu ini antara lain: filsafat, logika, seni dan ilmu humaniora lainya.[4]
Dalam praktik dewasa ini, ketidakharmonisan terjadi bukan hanya saja terjadi antara ilmu agama dan ilmu umum, melainkan ketidakharmonisan itu terjadi dalam intern ilmu-ilmu itu sendiri. Banyak faktor yang menyebabkan ilmu-ilmu itu menjadi tidak harmonis atau dikotomis. Pada intern ilmu agama misalnya, ketidakharmonisan tersebut banyak disebabkan oleh kepentingan politik, metode berfikir serta aliran atau mazhab yang diyakininya, situasi dan kondisi di mana seorang mujtahid berada, kecerdasan dan latar belakang pendidikan serta hubungan sosial lainya. Sedangkan dalam intern ilmu umum perbedaan terjadi karena metode dan pendekatan yang dilakukan, situasi sosial politik, kecenderungan pribadi, kecerdasan dan keterbatasan pengetahuan, serta ideologi yang diyakininya.[5]
Adapun terjadinya dikotomi antara ilmu agama Islam dan ilmu umum, antara lain karena adanya perbedaan pada dataran antologi, epistemologi dan aksiologi, kedua bidang ilmu pengetahuan tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa ilmu agama Islam bertolak dari wahyu yang mutlak benar dan dibantu dengan penalaran dalam proses penggunaanya tidak boleh bertentangan dengan wahyu. Sementara itu ilmu pengetahuan umum yang ada selama ini berasal dari barat dan bersandar pada pandangan filsafat yang ateistik, materialistik, sekularistik, empiristik, rasionalistik, bahkan hendonistik. Dua hal yang menjadi dasar kedua bidang ilmu ini jelas amat berbeda, dan sulit dipertemukan.[6]
Dalam era globalisasi ini, yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan transmisi ilmu pengetahuan, agama seolah-olah semakin mendapatkan posisi yang semakin sempit, karena pandangan manusia moderen terhadap agama sangat dipengaruhi oleh perkembangan logika, mulai dari logika sederhana sampai kepada logika liberal, yang berakibat manusia semakin materealistik dan mulai menolak hal-hal yang berbau immaterial, bahkan dalam khazanah filsafat Kalr Marx yang telah lalu, agama sama sekali tidak mendapat posisi, menurutnya bahwa agama hanyalah tanda keterasingan manusia, tetapi bukanlah dasarnya. Agama hanyalah sebuah pelarian karena realitas manusia memaksa untuk melarikan diri. Agama adalah relasi hakikat manusia dengan angan-angan, karena hakikat manusia tidak mempunyai realitas yang sungguh-sungguh. Dengan demikian agama adalah sekaligus ungkapan penderitaan yang sungguh-sungguh dan proses penderitaan yang sungguh-sungguh. Agama adalah keluhan makhluk yang tertekan , perasaan tanpa hati, sebagaimana ia adalah roh zaman yang tanpa roh, ia adalah candu rakyat.[7]
Demikian pandangan kaum skeptis ilmiah terhadap agama, dalam hal ini, seolah memberikan isyarat kepada kita bahwa  agama merupakan hal yang maya yang sulit diterima dengan rasio. Namun pandangan ateistik Kalr Marx terhadap agama ini, didorong oleh sudut pandang yang hanya melihat pada sisi nilai-nilai sosial dan emosional manusia, tanpa memperhatikan sisi-sisi universal agama.
Selanjutnya dalam benturan antara sains dan agama, dalam hal ini adalah agama Islam. Sejatinya Allah sangat mendorong  agar umat Islam menjadi umat yang unggul dibanding dengan umat-umat yang lain, dengan benar-benar menjadikan Al-Qur’an dan hadits sebagai petunjuk dalam setiap perjalanan kehidupan manusia. Muhammad Abduh berpendapat, bahwa sesungguhnya agama Islam telah meletakkan prinsip dasar ajaran agamanya agar dapat meraih keunggulan, kemakmuran, dan menolak semua konsep aturan yang menyalahi aturan agamanya (syari’at).
 Namun sejak wacana seputar pintu ijtihad telah tertutup, maka ketika itu umat Islam mulai membatasi diri dari memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan cenderung menutup diri dalam mengahadapi segala persoalan zaman. Dalam pandangan Muhammad Abduh, bahwa Islam tidak menerima adanya penindasan ilmu pengetahuan. Pada umat Islam terdahulu, tidak ada penyiksaan, hukuman bakar hidup-hidup dan hukum gantung bagi pengembang ilmu-ilmu alam dan pendukung akal kemanusiaan. Akan tetapi agamawan sekarang (awal abad ke-20) merupakan musuh bagi ilmu-ilmu yang berdasarkan akal.[8]
       Berdasarkan latar belakang di atas, penulis berpendapat bahwa pemisahan ilmu (dikotomi), merupakan hal yang harus dikaji ulang, terutama dengan menggunakan sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW, yang berfungsi sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia menuju jalan yang sebaik-baiknya[9]
Menurutut Quraish Shihab, dengan mengutip pendapat Whitehead dalam bukunya Science and the Modren World yaitu, “ Bila kita menyadari betapa pentingnya agama dengan ilmu pengetahuan, maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa sejarah kita yang akan datang bergantung pada putusan generasi sekarang mengenai hubungan antara keduanya”. Menurut Quraish Shihab, pendapat Whitehead ini berdasarkan apa yang terjadi di Eropa pada abad ke-18, yang ketika itu gereja (pendeta) di satu pihak dan ilmuan di pihak lain, tidak dapat mencapai kata sepakat tentang hubungan antara kitab suci dan ilmu pengetahuan. Demikian pula halnya bagi umat Islam, pengertian kita terhadap hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan akan memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap agama dan sejarah perkembangan manusia pada generasi-generasi yang akan datang[10]

B.     Perbedaan Mendasar Antara Sain dan Agama
Antara ilmu (sains) dan agama sebenarnya ada perbedaan yang cukup mendasar,[11] pertama mind-set dasarnya berbeda. Ilmu berdasar pada etos otonomi pemahamanan. Seperti ditekankan Francis Bacon dan Newton, sikap ilmiah sejati berangkat dari keberanian berpikir dan mengamati sendiri tanpa bersandar pada otoritas pendapat orang lain atau instansi supranatural apapun. Newton bahkan lebih menekankan sikap keraguan lebih radikal. Misalnya, meskipun normalnya air mengalir dari atas ke bawah, seorang ilmuan sejati mesti melihat kemungkinan, bahwa air bisa saja mengalir ke atas, atau api membeku dan lain sebagainya. Pendeknya sikap skeptis ilmuan yang tak mudah percaya adalah kodrat seorang ilmuan, sementara agama tentu saja sebaliknya. Sikap dasarnya adalah kepercayaan dan kepasrahanya pada kehendak otoritas yang lain, terutama otoritas Tuhan. Jadi jika dalam dunia keilmuan (sains)  ketidakpercayaan (sebelum terbukti) adalah sebuah keutamaan, dalam dunia keagamaan, kepercayaanlah yang menjadi keutamaan.
Kedua, ilmu relatif lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan baru asalkan masuk akal dan ditunjang bukti faktual yang memadai. Agama sebaliknya, meski umumnya diyakini bahwa manusia wajib menggunakan akalnya untuk memahami wahyu dan  kitab suci, dalam kenyataanya agama-agama cenderung sangat defensif terhadap pemahaman-pemahaman baru, bahkan agak tabu untuk memerkarakan dirinya sendiri. Tidaklah mengherankan jika dibandingkan dengan perkembangan ilmu yang sangat pesat, agama sering terasa tertinggal jauh.[12]
Ketiga, ranah utama wacana agama-agama adalah ranah misteri-misteri terdalam kehidupan berserta makna-makna pengalaman, yang sesungguhnya di luar wilayah atau di luar batas jangkauan ilmu-ilmu empirik. Bahasa yang digunakanpun berbeda. Bahasa agama-agama lebih berupa bahasa mitos, penuh metafora atau retorika, semetara bahasa ilmu adalah bahasa faktual, lugas, dan literal.[13]
Sementara itu dalam pendekatan konflik yang dikemukanan oleh Ian G. Barbour, didapat suatu keyakinan bahwa agama dan sains tidak dapat dirujukan, karena masing-masing keduanya mempunyai landasan yang berbeda. Menurut mazhab yang berpendapat bahwa agama dan sains tidak akan pernah dapat disatukan, jika sekiranya kita seorang ilmuan, maka akan terasa sulit untuk membayangkan bagaimana kita secara jujur juga bisa serentak shaleh-beriman, setidak-tidaknya dalam pengertian percaya kepada Tuhan. Alasan utama mereka menarik kesimpulan ini ialah bahwa agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajaranya dengan tegas, padahal sains bisa melakukan hal itu. Agama mencoba bersikap diam-diam dan tidak mau memberi petunjuk bukti konkrit tentang keberadaan Tuhan. Di pihak lain, sains mau menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan “pengalaman”, agama tidak bisa melakukan hal tersebut dengan cara yang bisa memuaskan pihak yang netral.[14] 
Demikianlah pandangan dikotomis antara ilmu pengetahuan dan agama, yang seolah tidak mempunyai keterkaitan dan saling bertolak antara keduanya. Namun al-Qur’an menjelaskan lebih lanjut dari pada kesimpulan yang telah dianggap selesai di atas.

C.    Pengertian Ilmu Pengetahuan (Sains) dalam Perspektif Al-Qur’an
Ilmu pengetahuan lazim disebut  ekwivalen dalam bahasa Perancis, dan Science dalam bahasa Inggris, wissenchaft dalam bahasa Jerman, wetensschap dalam bahasa Belanda. Sedangkan dalam bahasa arab ilmu pengetahuan disebut dengan istilah al-‘ilm.[15]
Istilah ilmu di dalam al-Qur’an menjadi sangat penting, karena ia mempunyai arti yang khusus. Kata al-‘ilm dalam al-Qur’an menurut Franz Rosental sebagai berikut :
Dalam bahasa arab, ‘ilm tidak bisa digantikan pengertianya dengan pengetahuan (knowledge), sungguhpun begitu, pengetahuan mengandung kekurangmampuan dalam mengekspresikan semua kenyataan dan perasaan yang terkandung di dalam kata ‘ilm, karena ‘ilm adalah salah satu dari setiap konsep yang mendominasi dunia Islam dan memberi ciri khusus dalam segala kompleksitasnya terhadap peradaban Islam. [16]
          Menurut Rosental, ‘ilm tidak bisa diartikan begitu saja dengan pengetahuan, karena kata ilmu itu sendiri telah menjadi kebudayaan yang mempunyai arti khusus dalam Islam. Bahkan Rosental lebih jauh mengungkapkan bahwa kata ‘ilm mempunyai makna yang sangat dalam sehingga tak ada konsep lain yang berperan secara operatif dalam pembentukan peradaban Islam. Ia menegaskan bahwa tak ada satupun di antara istilah-istilah yang memiliki kedalaman makna dan keluasan penggunaanya yang sama dengan kata ‘ilm tersebut.[17]
Menurut Quraish Shibah, bahwa kata “ilm” dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali.[18] Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa ilmu dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang berbentuk dari akar hanya mempunyai cirri kejelasan. Perhatikan misalnya kata ‘alam (bendera), ulmat (bibir sumbing), a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.[19]
Ayat-ayat Al-Qur’an yang di dalamnya terdapat kata ‘ilm pada umumnya berbicara tentang tema sentral ilmu sebagai penyelamat bagi manusia dari berbagai kehancuran, baik di dunia maupun di akhirat dengan topik : (1) proses pencapaian ilmu dan objeknya (Q.S Al-Baqarah : 31-32), (2), klasifikasi Ilmu ( Q.S Al-Kahfi: 65), (3) ilmu hisab yang berkenaan dengan perhitungan bulan dan tahun (Q.S An-Nahl: 5). Sementara itu Afzalur rahman ada 27 cabang ilmu yang didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya : Ilmu Kosmologi, Astronomi, Astrologi, Fisika, Matematika, Sejarah,  Antropologi, Geograf, Geologi, Zoologi, Ekonomi, Pertanian, Perdagangan, Arkeologi, Psikologi, Kimia, Kedokteran, Sosiologi, Fisiologi dan lain sebagainya.[20]
Berdasarkan aya-ayat Al-Qur’an yang memberikan petunjuk tentang berbagai cabang ilmu pengetahuan, dengan demikian jelaslah bahwa Al-Qur’an sebagai dasar dan sumber ajaran Islam juga berbicara tentang sains dan segala fenomena yang berkaitan dengan alam. Namun demikian Al-Qur’an bukanlah buku tentang ilmu pengetahuan, karena isyarat ayat Al-Qur’an tersebut belum disusun berdasarkan metodologi ilmu pengetahuan serta yang dikemukakan dalam Al-Qur’an lebih pada prinsip-prinsip, spirit serta kaidah dalam mengembangkan dalam mengembangan berbagai macam ilmu pengetahuan tersebut. 
Salah satu ayat yang mengisyaratkan agar kita mempelajari ilmu stronomi misalnya, yang terdapat dalam Q.S Yunus: 5-6

uqèd Ï%©!$# Ÿ@yèy_ š[ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yŠytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# šÏ9ºsŒ žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_ÁxÿムÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇÎÈ ¨bÎ) Îû É#»n=ÏG÷z$# È@ø©9$# Í$pk¨]9$#ur $tBur t,n=yz ª!$# Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcqà)­Gtƒ ÇÏÈ
“  Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.  Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa.”

Pada Q.S Yunus: 5-6 di atas, secara sederhana dapat kita pahami, bahwa Allah SWT. menyeru kepada kita untuk mempelajari ilmu perhitungan untuk mengetahui bilangan tahun dan bulan lewat peredaran bulan dan matahari. Namun demikian pada setiap ayat yang memberi dorongan kepada kita untuk mempelajari sains, Allah selalu memberikan gambaran akan tujuan yang hakiki dari aktifitas mengamati dan mepelajari sains, yaitu agar kita mengenal Allah SWT lebih dekat lewat tanda-tanda kebesaran Allah SWT, yang Ia tunjukan lewat setiap fenomena alam ini. 


D.    Konsep Sains Tauhidullah dalam Al-Qur’an
Ketika Al-Qur’an diturunkan ilmu pengetahuan telah berkembang di Mesir, Yunani, Romawi, India, Cina dan Persia. Namun ilmu-ilmu yang yang berada di daerah–daerah tersebut sudah berada dalam kemandegan, tidak berkembang, karena faktor yang bersifat politik. Pada saat itu Islam datang, filsafat Yunani sudah tidak berkembang lagi di Athena, melainkan  berkembang di negara-negara di Timur Tengah, seperti Alexandria, Nisisibi, Jundisapur dan sebagainya. Bahkan Neo Platonisme  yang dikembangkan oleh Plotinus tumbuh dan berkembang di Mesir.[21] Selain itu filsafat Yunani juga dipengaruhi oleh pandangan mitologi Yunani yang bersifat spekulatif. Ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu belum didukung oleh data empiris yang didasarkan pada eksperimen. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan yang ada sebelum Islam tengah berada di tepi jurang kehancuran[22]
Sementara itu Islam datang dengan Al-Qur’an yang memberikan petunjuk yang hakiki terhadap segala persoalan dikotomi antara ilmu bumi dan ilmu langit (sains dan agama) yang sangat dilematis. Al-Qur’an memberikan penjelasan bahwa tidak ada perbedaan antara ilmu satu dengan yang lain, al-Qur’an menjelaskan secara hakikat tentang ilmu-ilmu yang dianggap mempunyai posisi dan kedudukan yang berbeda-beda oleh manusia.
Pembagian adanya perbedaan antara ilmu agama dan sains, terjadi karena pandangan manusia yang berkesimpulan bahwa hasil identifikasi ilmu berdasarkan sumber objek kajian, maka objek ontologis yang dibahasnya wahyu (Al-Qur’an) termasuk penjelasan atas wahyu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW berupa hadits, dengan menggunakan metode ijtihad, maka yang dihasilkan adalah ilmu-ilmu agama, seperti teologi, tafsir, hadits, tasawuf, dan lain sebagainya. Kemudian jika yang dibahas objek kajianya adalah alam jagad raya, seperti bumi, langi, tumbuh-tumbuhan, binantang, air, api, udara, bulan, matahari. Bintang dan lain sebagainya, maka yang diperoleh adalah ilmu-ilmu kelaman (natural science), seperti biologi, geografi, fisika, kimia, astronomi, dan lain sebagainya. Selanjutnya jika yang dijadikan kajian objek ontologisnya adalah prilaku dalam segala aspeknya, baik prilaku politik, prilaku ekonomi, prilaku budaya, prilaku agama dan prilaku sosial, dan lain sebagainya, yang dilakukan dengan menggunakan metode penelitian sosial, seperti wawancara, observasi, penelitian terlibat( grounded research ), maka yang dihasilkan adalah ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu budaya, sosiologi agama, antropologi, dan sebagainya. Selanjutnya apabila objek pemikiranya adalah pikiran atau pemikiran yang mendalam dengan menggunakan metode mujadallah atau logika terbimbing, maka yang dihasilkanya adalah filsafat dan ilmu-ilmu humaniora.[23]
Ilmu –ilmu tersebut seluruhnya pada hakikatnya berasal dari Allah, karena sumber-sumber tersebut berupa wahyu, alam jagat raya termasuk hukum-hukumnya di dalamnya, manusia dengan perilakunya, akal pikiranya dan intusi batin seluruhnya ciptaan dan anugrah Allah yang diberikan kepada manusia.
E.     Kesimpulan
Dalam perspektif Al-Qur’an, segala macam cabang ilmu secara hakikat seluruhnya mempunyai keterkaitan dan berujung kepada titik yang satu, yaitu tauhidullah, Allah selalu menyeru kepada manusia untuk mempelajarai segala fenomena alam dan objek ilmu agar manusia dapat merenungi akan tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Serta mengenal-Nya lebih dekat.
Oleh sebab itu istilah dikotomi ilmu pengetahuan yang selama ini menjadi wacana perbincangan oleh para ilmuan, seyogyanya harus melihat kembali bagaimana sebenarnya kehendak agama kepada sains. Karena jika dilihat secara hakikat pada dasarnya tidak ada pertentangan yang sungguh-sungguh.
DAFTAR PUSTAKA
Ahsin, Muhammad, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir Islami atas Sains, Bandung: Mizan, 2004
Abduh, Muhammad, Islam Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat Madani, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005
Januri, M. Fauzan dan M. Alfan, Dialog Pemikiran Timur dan Barat, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011
Haught, John, Perjumpaan Sains dan Agama dari Konflik ke Dialog, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004
Muhammad Abu Syuhba, Abu Umar Muhammad, al Madkhal Lidirasaril Al-Qur’an Al-Karim,Riyadh: al-Mumlikah al-Arabiyah Syu’udiyah, 1987
Nata, Abuddin, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005
Raharjo, Dawan, Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 4, Vo. 1, Jakarta: Aksara Buana, 1990
Suseno, Franz Magniz, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Upotis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000
Shihan, Qurasih, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007
Saifuddin Anshari , Endang, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1990





[1] Muhammad Ahsin, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir Islami atas Sains, (Bandung: Mizan, 2004), h.11
[2] Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h,1
[3] Ibid., h. 3
[4] Ibid., Dewasa ini perkembangan  ilmu pengetahuan umum bergerak amat cepat, sebagai akibat dan dampak nyata kegiatan penelitian yang didukung oleh etos ilmiah yang tinggi, serta pendanaan dan peralatan yang lengkap. Ilmu pengetahuan ini dahulunya dikuasai oleh umat Islam, namun kini sebagian besar dikuasai oleh masyarakat Barat dan Eropa. Lihat Poeradisastra, Sumbangan Islam terhadap Peradaban Eropa Barat, (Jakarta: P3, 1980), cet. I, hlm. 76 ; Muhammad R. Mirza dan Muhammad Iqbal Siddiqi, Muslim Contribution to Science, (Pakistan: Kazi Publication, 1986), cet. I, h. 17-29.
[5] Ibid., h. 5
[6] Ibid., h. 6
[7] Franz Magniz. Suseno, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, ( Jakarta : PT Gramedia  Pustaka Utama, 2000), h.73.
[8] Muhammad Abduh, Islam Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat Madani, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 157
[9] Q.S al-Isra’ : 9
[10] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), h.46
[11] Zainal Abidin Bagir dkk, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan aksi, (Bandung: Mizan, 2005), h.41
[12] Ibid,.
[13] Ibid,. h. 42
[14] John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama dari Konflik ke Dialog, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004), h. 2
[15] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, ( Surabaya: Bina Ilmu, 1990), h.47
[16] Dawan Raharjo, Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 4, Vo. 1, (Jakarta: Aksara Buana,1990), “Ensiklopedia Al-Qur’an”, h.57
[17] Ibid
[18]  Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), cet. III, h. 434
[19] Ibid
[20] Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h, 79
[21]  Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h,51
[22] Ibid
[23] Ibid., h. 52

Tidak ada komentar: