WAHYU NUZUL
AL-QUR’AN DAN AHRUF SAB’AH
Oleh : Dian
Siswanto[1]
(Mahasiswa Jurusan Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir Program Pasca Sarjana
IAIN Imam Bonjol Padang)
Key Words : Wahyu,
Nuzul al-Qur’an, Ahruf Sab’ah
A.
Pendahuluan
Wahyu dalam keterkaitanya dengan
nuzul al-Qur’an merupakan dua hal yang mempunyai kedekatan dalam pembahasanya,
yang seterusnya menimbulkan pertanyaan yang cukup urgen untuk dibahas, seperti
apakah sebenarnya yang dimaksud dengan wahyu? apa perbedaan antara wahyu yang
kemudian disebut sebagai al-Qur’an dan yang kemudian disebut hadits qudsi?
Serta bagaimana rasionalitas dapat menjelaskan tentang kebenaran wahyu?.
Pembahasan ini menjadi sangat penting untuk ditelaah lebih lanjut, mengingat
para orientalis dan missionaris mulai serius mengkritisi ajaran ajaran Islam,
khususnya menyangkut keotentikan wahyu dan al-Qur’an.
Sebagai simulasi dalam mendiskusikan
persoalan tersebut diatas, saya mencoba menulis makalah sederhana ini untuk
kemudian dijadikan sebagai bahan pengantar dalam diskusi seputar wahyu dan
nuzul al-Qur’an serta ahruf sab’ah dalam rangka memperluas khazanah sebagai
insan qur’ani. Sebagai bentuk upaya agar pembahasan ini lebih terarah, saya
mencoba memulai dengan bebarapa sub judul dengan mengacu kepada materi pokok
dalam silabus, pada bagian pertama yaitu makna wahyu dari segi etimolgi dan
terminolgi, perbedaan wahyu dengan insting, ilham, serta mimpi, cara
penyampaian wahyu Allah kepada malaikat dan para nabi serta rasul Allah, bentuk
bentuk wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw., menjelaskan urgensi wahyu dari
sisi rasionalitas dan realitas kebenaranya. Kemudian pada bagian ke dua akan dibahas tentang nuzul al-Qur’an, perbedaan
makna antara nuzul, inzal dan tanzil, pengertian lauh
al-mahfuz, bait al-izza serta keterkaitan Jibril dalam pewahyuan,
tunrunya al-Qur’an secara berangsur angsur (munajjaman), nuzul
al-Qur’an dengan lail al-Qadar, ayat yang pertama dan terakhir
turun, serta pengulangan ayat dalam al-Qur’an (tikrar). Pada bagian ke
tiga akan diuraikan seputar ahruf sab’ah, dalam pembahasanya terkait
dengan pengertian tujuh huruf (ahruf sab’ah), landasan hadits tentang
turunya al-Qur’an dalam tujuh huruf, bukti adanya al-Qur’an turun dalam tujuh
huruf, pendapat ulama tentang makna al-Qur’an turun dalam tujuh huruf, dan
akhir dari al-Qur’an tujuh huruf.
Dengan segala keterbatasan dalam
tulisan terkait dengan tema ini, saya berharap semoga dapat menjadi pemicu bagi
pembaca, terkhusus untuk para peserta diskusi pada kelompok K7 untuk dapat
bersinergi dalam mengkonfirmasi, mengevaluasi, serta mengembangkan hal-hal yang
mungkin belum terlihat relevantif dalam tulisan ini.
B.
Wahyu
Secara umum terlihat sama apa yang
disebut wahyu dalam pengertianya dengan al-Qur’an. Namun untuk lebih jauh
memahami apakah sebenarnya yang dimaksud dengan wahyu, dan menelaah lebih
lanjut apakah al-Qur’an bisa dipahami sebagai wahyu Allah, dan sebaliknya
apakah setiap wahyu Allah dapat disebut sebagai al-Qur’an. Dalam diskusi
sebelumya secara umum telah disinggung dalam makalah yang disampaikan oleh
saudara Al-Adiyat dengan judul Ulumul al-Qur’an dan Al-Qur’an,[2] bahwa
para nabi dan rasul Allah mereka juga menerima apa yang disebut sebagai wahyu,
namun wahyu-wahyu yang diterima para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad saw.,
tidak dikatakan sebagai al-Qur’an. Oleh sebab itu sebagai bentuk kelanjutan
dari diskusi sebelumnya, saya akan mencoba menguraikan lebih lanjut terkait dengan pengertian wahyu dan batasan
batasanya.
a.
Pengertian
Wahyu
Wahyu atau الوحي adalah kata mashdar (infinitif),
yang secara etimologi bahasa arab berarti isyarat, bisikan, atau paham. Ada
pula yang mengartikan bahwa wahyu adalah bisikan yang tersembunyi dan cepat [3]
Sedang
menurut terminologi syeikh Mana’ al-Qathan dengan merujuk pendapat Imam
Muhammad Abduh menjelaskan, bahwa yang dimaksud wahyu adalah:
"عرفان
يجده الشخص من نفسه مع اليقين بأنه من قبل الله بواسطة أو بغير واسطة, والأول بصوت
يتمثل لسمعه أو بغير صوت. ويفرق بينه وبين الإلهام بأن الإلهام: وجدان تستيقنه
النفس فتنساق إلى مايطلب على غير شعور منها من أين أتى؟ وهو أشبه بوجدان الجوع
والعطش والخزن والسرور"[4]
“Pengetahuan
yang didapati oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan bahwa
pengetahuan itu datang dari Allah melalui perantara ataupun tidak. Yang pertama
melalui suara yang menjelma dalam telinganya atau tanpa suara sama sekali. Beda
antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu adalah institusi yang diyakini
oleh jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui
dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan rasa lapar, haus, sedih atau
gembira”
Defenisi diatas, pada bagian awalnya
menegaskan adanya kemiripan antara wahyu dengan
suara hati atau kasyaf. Namun kemudian dalam perbedaanya dengan ilham
pada bagian akhir dalam defenisi tersebut diatas menegaskan, bahawa wahyu
merupakan hakikat kebenaran yang datangnya dari Allah, dan dalam beberapa ayat
al-Qur’an hal tersebut dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW., akan tetapi al-Qur’an
dalam menjelaskan esensi wahyu hanya dalam bentuk isyarat dan tidak mendetail,
seperti firman Allah SWT.,
¼çm¯RÎ)ur ã@Í\tGs9 Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÒËÈ tAttR ÏmÎ/ ßyr9$# ßûüÏBF{$# ÇÊÒÌÈ 4n?tã y7Î7ù=s% tbqä3tGÏ9 z`ÏB tûïÍÉZßJø9$# ÇÊÒÍÈ
“Dan
Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam, Dia
dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan” (Q.S
al-Syu’araa: 192-194)
Beranjak dari
uraian diatas, secara umum penulis berpendapat bahwa wahyu merupakan salah satu
sarana komunikasi antara Tuhan yang bersifat imaterial dengan manusia yang
bersifat materil. Melihat bentuk esensi dari pengertian wahyu maka al-Qur’an
juga termasuk wahyu Allah yang khusus diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.,
sebagai peringatan Allah kepada manusia dan bukti kerasulan Nabi Muhammad SAW.,
Dalam
al-Qur’an ayat-ayat yang berkaitan dengan wahyu ada 135 ayat dengan penggunaan
serta objek penerima yang beraneka ragam, diantaranya adalah:
No
|
Pembagian Wahyu
|
Surat dan
Ayat
|
Penjelasan
|
1
2
|
Wahyu untuk bumi
Wahyu untuk Nabi :
a.
Nabi Nuh
b.
Nabi Musa
c.
Nabi Yusuf
d.
Nabi
Muhammad
e.
Wahyu
dengan perantara
f.
Wahyu untuk
langit
g.
Wahyu untuk
hewan
h.
Wahyu
kepada malaikat
|
Al-Zalzalah :5
Hud : 36
Al-Mu’minun: 27
Al-‘Araf:117
Thaha: 77
Yusuf: 15
Al-Imran :44
Yunus :15
Al-Anbiya:45
Asy-Syura: 3
Al-Najm: 4
Asy-Syura:51
Al-Fussilat: 12
Al-Nahl :68
Al-Anfal: 12
|
Wahyu ini merupakan
perintah Allah kepada bumi untuk hancur dan terbelah supaya manusia keluar
dari kubur-kuburnya.
Kedua ayat ini
merupakan wahyu kepada Nabi Nuh untuk membuat bahtera, dan menghibur Nuh agar
tidak bersedih terhadapa pengingkaran yang telah dilakukan oleh para
pengikutnya.
Ayat ini merupakan
wahyu Allah kepada Nabi Musa dalam menghadapi kemungkaran yang dilakukan oleh
Fir’aun.
Ayat ini bertujuan
untuk menguatkan Nabi Yusuf sehingga ia tak merasa bersedih hati.
Kelima ayat ini
merupakan peringatan dan tantangan dari Allah kepada orang-orang yang
mengasingkan al-Qur’an, dan juga penjelasan terhadap Muhammad tentang berita
berita yang ghaib dan wahyu yang diturunkan kepadanya bukanlah ucapan
Muhammad yang diucapkan menurut hawa nafsunya, namun merupakan perkataan
Allah yang diwahyukan kepada Muhammad.
Ayat ini menerangkan
bahwa pemberitahuan wahyu itu melalui perantara atau dibalik tabir.
Ayat ini merupakan
wahyu Allah kepada langit serta benda benda yang ada didalamnya untuk
bergerak sesuai dengan yang telah diperintahkanya.
Wahyu ini merupakan
petunjuk dan bimbingan Allah kepada lebah untuk membuat sarang
Wahyu ini disampaikan
Allah kepada malaikat agar membantu kaum muslimin dalam perang badar
|
Dari
pembagian wahyu diatas, dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan, tentang
pengertian makna wahyu itu sendiri serta penggunaanya di dalam al-Qur’an, ada
yang bermakna perintah, isyarat, dan juga ilham. Maka dengan demikian al-Qur’an
merupakan wahyu risalah yang khusus dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW.
b.
Beberapa
Perbedaan Wahyu Ilham Instink Mimpi dan Hipnotis
Untuk menelah
perbedaan dari masing masing istilah tersebut, maka terlebih dahulu akan
dipaparkan defenisi dari masing-masing istilah tersebut :
1.
Ilham
Syeikh Muhammad Abduh menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan ilham adalah institusi yang diyakini oleh jiwa serta
terdorong untuk mengikutinya, tanpa mengetahui dari mana datangya.[5] Pendapat
lain mengatakan bahwa yang menerima ilham tidak hanya manusia
namun binatang dan tumbuh-tumbuhan pun menerimanya. Dalam surat Al-Nahl disinggung
tentang ilham untuk lebah. Ilham dalam ayat ini menurut Fakhrurrazi ialah Allah
telah menetapkan perilaku naluriah kepada lebah.
Prof. Hasbi As Siddiqi menyatakan: ilham demikian diperoleh
dengan cara kasyaf maknawi, tidak memakai perantaraan malaikat berjalan menurut
cara-cara tertentu yang biasa Allah pergunakan terhadap tiap-tiap maujud.
2.
Insting
Dalam ensiklopedia arti dari insting adalah menyangkut pola-pola prilaku dan respon-respon yang
komplek, tidak dipelajari, muncul begitu saja dari kelahiran seseorang, dan
diperoleh oleh turun-temurun (secara filogenetik). Naluri muncul sebagai
karakteristik yang dimiliki suatu makhluk, misalnya hewan dalam menghadapi
lingkungan untuk memungkinkan kelangsungan hidupnya, naluri juga terdapat pada
prilaku manusia yang kadang-kadang muncul pada situasi tertentu dan sulit
dijelaskan dasar-dasar
timbulnya.[6]
3.
Mimpi
Mimpi adalah
pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran,
perasaan, atau indra lainnya dalam tidur, terutama saat tidur.
Adakalanya Allah menyampaikan pesan kepada nabi dan rasulnya melalui mimpi yang
benar dan diyakini kebenaranya itu dari Allah, seperti firman Allah kepada
Ibrahim:
$¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»t þÎoTÎ) 3ur& Îû ÏQ$uZyJø9$# þÎoTr& y7çtr2ør& öÝàR$$sù #s$tB 2ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»t ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? ( þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎÉ9»¢Á9$# ÇÊÉËÈ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi
bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ashshaaffaat: 102)
4.
Hipnotis
Orang yang melakukan proses hipnosis (memberikan sugesti)
terhadap subjek disebut hipnotis (hypnotist). Sedangkan yang dimaksud hipnosis adalah suatu kondisi mental atau
diberlakukannya peran imajinatif. Hipnosis
biasanya disebabkan oleh prosedur yang dikenal sebagai induksi hipnosis, yang umumnya terdiri dari
rangkaian panjang instruksi awal dan sugesti. Sugesti hipnosis dapat disampaikan
oleh seorang hipnotis di hadapan subjek, atau mungkin dilakukan sendiri oleh
subjek (Self-hipnosis)[7]
Beranjak dari
defenisi diatas, maka dapat penulis simpulkan beberapa perbedaan diatara istilah
istilah tersebut diatas:
1.
Wahyu
merupakan pesan dari Allah SWT., yang diyakini kebenaranya dan datangya dari
Allah serta hanya diberikan kepada manusia (nabi dan rasul), sedangkan ilham,
mimpi, insting, dan hipnotis sebaliknya;
2.
Meskipun Nabi
Ibrahim as menerima wahyu melalui mimpi, penulis cenderung berpendapat bahwa
mimpi itu bukanlah wahyu, akan tetapi mimpi Nabi Ibrahim sebagai wasilah atau
media dalam penyampaian wahyu Allah kepada Nabi Ibrahim.
c.
Cara
Penyampaian Wahyu Allah kepada nabi dan rasul
Allah SWT., dalam menurunkan wahyu kepada nabi dan rasul-Nya pada
hakikatnya terdiri atas dua cara. Pertama, yakni melalui perantaraan Jibril as
yang memang tugasnya sebagai malaikat pembawa wahyu. Kedua, yakni tidak melalui
perantaraan.[8]
a.
Melalui Perantara
1.
Cara pertama, datang
kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang
mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya
siap menerima pengaruh itu. Cara ini yang paling berat buat Rasul. Apabila wahyu
yang turun kepada Rasulullah SAW.,
dengan cara ini, maka ia mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk
menerima, menghafal dan memahaminya, dan suara itu mungkin sekali suara
“kepakan” sayap-sayap malaikat, seperti yang diisyaratkan di dalam hadis : Ali
bin ‘Abdullah, memberitakan kepada kami, dari Sufyan, dari Umar, dari Ikrimah,
dari Abu Hurairah, ia disampaikan oleh Nabi saw dalam sabdanya: “Apabila Allah menghendaki suatu urusan di
langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada
firman-Nya, bagaikan gemerincingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin” (HR. al-Bukhari)
2.
Cara kedua, malaikat
menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara yang
demikian itu lebih ringan dari cara
pertama tadi dalam pewahyuan. Dalam hal ini, Rasul berhadapan langsung dengan
malaikat.
b. Tanpa
Perantara
1.
Mimpi yang benar di
dalam Tidur, sebagaimana dalam hadis, yakni ; Yahya bin Bukair memberitakan
kepada kami, ia berkata dari al-Lais, dari Uqail, dari Ibn Syihab, dari Urwah
bin al-Zubayr, dari Asiyah Umm al-Mu’minin, ia berkata :Sesunggungnya apa yang mula-mula terjadi bagi Rasulullah saw
adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari. Menurut keterangan dari berbagai literatur, ditemukan penjelasan bahwa
Rasulullah SAW.,
menerima wahyu dengan cara mimpi, sebagai persiapan baginya untuk menerima
wahyu dalam keadaan sadar. Di dalam al-Quran wahyu yang diturunkan ketika
beliau dalam keadaan sadar, kecuali bagi banyak orang yang mendakwakan bahwa
surat al-Kausar
diturunkan melalui mimpi.
2.
Wahyu diterima dari balik tabir tanpa melalui perantara,
adalah sebagaimana yang terjadi pada nabi Mūsa as.
d.
Cara Khas
Penyampaian Wahyu kepada Nabi Muhammad SAW
Cara cara
penyampaian wahyu diatas merupakan cara cara umum yang berlaku pada semua nabi dan
rasul. Khusus wahyu al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., para
ulama ahli tafsir menjelaskan cara Allah menurunkan wahyu kepada beliau sebagai
berikut:
1. Dengan mimpi.
2. Dicampakkan ke dalam jiwa Nabi saw
(dihembuskan ke dalam jiwanya) perkataan yang dimaksudkan, sebagaimana yang
dijelaskan dalam QS. al-Syura (42) ayat 52.
3. Wahyu datang kepada Nabi saw seperti
gerincingan lonceng, yakni Nabi SAW.,
mendengar suara yang sangat kerasnya menyerupai gerincingan lonceng yang keras.
Martabat inilah yang paling berat diterima Nabi SAW.
4. Jibril memperlihatkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW. dalam rupa seorang laki-laki yang sangat elok rupanya.
5. Jibril memperlihatkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW. dalam
rupanya yang asli, yang mempunyai enam ratus sayap.
6. Allah membicarakan Nabi SAW. dari belakang hijab, baik dalam keadaan Nabi
SAW. sadar (jaga), sebagaimana yang terjadi pada
malam isra’, ataupun
dalam keadaan tidur.
7. Israfil turun membawa beberapa kalimat dari
wahyu, sebelum Jibril datang membawa wahyu al-Quran.
e.
Kategori
Wujud Wahyu kepada Nabi Muhammad: al-Qur’an, hadits, dan hadits qudsi
Al-Qur’an
diyakini sebagai sumber pertama dalam menetapkan suatu hukum,[9] karena
al-Qur’an merupakan firman Allah
langsung yang tidak ada campur tangan manusia di dalamnya baik dari segi
lafaz maupun makna dalam penerimaanya.
Sedangkan hadits masih terdapat perbedaan pendapat diantara ulama
mengenai kewahyuanyan, hal ini disebabkan karena hadits merupakan otoritas Nabi
Muhammad SAW., dan juga dijadikan sebagai sebuah keyakinan sumber ajaran Islam
kedua setelah al-Qur’an, meski terdapat beberapa golongan yang menolak hadits
sebagai sumber ajaran Islam.
Untuk
menganalisa lebih jauh terkait kewahyuan hadits, disini penulis terlebih dahulu
akan mengemukakan defenisi al-Qur’an dan hadits, baik hadits nabawi dan juga
hadits qudsi sebagai landasan utama dalam pembahasan kategori wahyu kepada Nabi
Muhammad SAW.,
a.
Al-Qur’an
Defenisi al-Qur’an terdapat
perbedaan dikalangan mutakkalimin, ushuliyiin, fuqaha, dan juga ulama ulama
lainya.[10] Namun
disini penulis akan merujuk defenisi al-Qur’an secara umum. Al-Qur’an adalah
kalam Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.,
melalui perantara malaikat jibril, bernilai ibadah dalam membacanya, dan
dimulai dari surat al-fatiha dan diakhiri dengan surat al-nas.[11]
b.
Hadits
Begitupun dengan hadits para ulama
mempunyai pendapat yang berbeda dalam memberikan defenisi terhadapnya, namun
secara umum hadits, adalah apa apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.,
baik dari segi perkataan, perbuatan, ketetapan, atau sifat beliau[12]
Terkait persoalan perbedaan antara
hadits Qudsi dan hadits Nabawi Dr. Muhammad Ajjaj al-khatib menjelaskan bahwa
hadits Qudsi adalah perkataan Nabi Muhammad yang sandaranya adalah Allah SWT.,
sedangkan hadits Nabawi sandaranya adalah Nabi Muhammad sendiri. Dalam bahasa
yang sederhana dapat dipahami bahwa perbedaan antara hadits qudsi dan hadits
nabawi adalah persoalan persandaranya, hadits qudsi maknanya berasal dari Allah
SWT., kemudian susuanan redaksinya dari Nabi Muhammad sendiri dengan tidak
mengubah esensi pesan Allah SWT., sedangkan hadits Nabawi, makna dan redaksinya
berasal dari Nabi sendiri dimana beliau sebagai penjelas terhadap al-Qur’an.
Analisis
penulis tentang kewahyuan Al-Qur’an dan hadits:
Merujuk kepada defenisi al-Qur’an dan hadits, makan
penulis mencoba merumuskan sebuah asumsi tentang konsep kewahyuan al-Qur’an dan
hadits. Nabi Muhammad SAW., bukanlah
seorang rasul yang berbeda dengan rasul rasul sebelum beliau. Beliau bukan nabi
pertama yang berbicaya soal wahyu Tuhan, para utusan Allah sebelum Nabi
Muhammad juga tidak berbicara dengan hawa nafsu mereka melainkan dengan wahyu
dari Allah. Allah SWT., berfirman:
!$¯RÎ) !$uZøym÷rr& y7øs9Î) !$yJx. !$uZøym÷rr& 4n<Î) 8yqçR z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur .`ÏB ¾ÍnÏ÷èt/ 4 !$uZøym÷rr&ur #n<Î) zOÏdºtö/Î) @Ïè»yJóÎ)ur t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètur ÅÞ$t6óF{$#ur 4Ó|¤Ïãur z>qr&ur }§çRqãur tbrã»ydur z`»uKøn=ßur 4 $oY÷s?#uäur y¼ãr#y #Yqç/y ÇÊÏÌÈ
“Sesungguhnya kami Telah memberikan wahyu kepadamu
sebagaimana kami Telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang
kemudiannya, dan kami Telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il,
Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan kami
berikan Zabur kepada Daud.”( Al-Nisa:163)
Karena al-Qur’an diturunkan ke dalam
hati Nabi Muhammad, maka jelas bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah
yang diyakini kebenaranya datang dari Allah.
f.
Urgensi Wahyu
Dilihat dari Sisi Rasionalitas dan Relitas Kebenaranya.
Sebagaimana
kita yakini bahwa al-Qur’an diturunkan kepada manusia agar ia menjadi petunjuk
bagi kita, yang akan menjembatani kita dalam menuju kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Sebagai kitab suci ia melibatkan keyakinan yang berbeda pula dalam
pandangan manusia, orang-orang yang telah mendapatkan petunjuk dari Allah maka
Allah bukakan hatinya untuk mampu mempelajari kemudian sampai pada tingkat
keyakinan dan menerima kebenaran al-Qur’an. Dan sebagian manusia juga ada yang
mencoba merasionalisaikan wahyu Allah tanpa didasari sikap objektifitas, hingga
akhirnya bukan petunjuk yang didapatkan dan justru sebaliknya.
Pengkajian
al-Qur’an sebagai wahyu Allah bukan hanya saja dipelajari dan dikembangkan oleh
umat islam sendiri, tetapi saat ini justru kelompok kelompok di luar Islam lebih insentif dalam mengkaji al-Qur’an,
seperti orientalis dan missionaris, mereka mencoba mencari kelemahan al-Qur’an
dari berbagai sisi dengan mengedepankan sikap rasional bebas.
Dalam hal ini
penulis berpendapat bahwa al-Qur’an mempunyai dua sisi yang penting sebagai
petunjuk, yaitu pertama, petunjuk petunjuk sekaligus isyarat yang
bersifat empiris dan menuntut penggunaan akal, maka dalam hal ini Syeikh
Muhammad Abduh berpendapat bahwa fungsi akal adalah sebagai konfirmasi terhadap
ayat ayat al-Qur’an yang bersifat informatif. Kedua, al-Qur’an sebagai
berita terhadap hal-hal yang ghaib, hal ini jangkauan lebih jauh dari pada
sekedar penggunaan rasionalitas. Karena dalam memahaminya tidak hanya cukup
dengan menggunakan perangkat-perangkat logika, bahkan terkadang logika tidak
dapat digunakan sama sekali. Seperti berita bertia tentang malaikat, surga,
neraka dan sebagainya, maka hal ini termasuk dalam ranah keyakinan yang
mendalam.
C.
Nuzul
al-Qur’an
Turunnya AlQur’an merupakan
suatu kejadian yang sangat mengagetkan sekaligus menggembirakan hati Nabi
Muhammad SAW. Sebagaimana turunnya
Surat Al-‘alaq (ayat:1-5), Nabi Muhammad SAW. dalam menerimanya
sangatlah berat karena karena diturunkan lewat perantara malaikat jibril
sesosok yang membuat Nabi Muhammad SAW.
ketakutan. Saat malaikat jibril menyampaikan wahyu tersebut, Rasullullah juga
merasa keberatan karena tidak bisa melaksakan apa yang diperintah malaikat
jibril. Tetapi setelah berkali-kali malaikat jibril mengulang akhirnya Nabi Muhammad SAW. dapat menerimanya, begitupun saat menerima
ayat-ayat yang lain, Rasulullah selalu merasa ketakutan dengan segala sesuatu
yang mengiringi ayat-ayat tersebut.
Begitu
sulitnya Rasulullah dalam menerima wahyu membuktikan kalau peristiwa turunnya Al
Qur’an merupakan suatu kejadian yang sangat luar biasa. Dengan turunnya Al
Qur’an berarti banyak hal yang perlu dikaji lebih mendalam lagi, baik dari segi
sebab-sebab turunnya atau yang sering disebut Asbabun Nuzul maupun proses
turunnya Al Qur’an itu sendiri.
a.
Makna Nuzul, Inzal,
dan Tanzil dalam Al-Qur’an Perbedaan dan Kesamaanya
Dalam
kaitan turunnya Al Qur’an sering disebutkan dengan kata-kata seperti nuzul, inzal, tanazzul, tanzil ,
dan munazzal
yang masing-masing berati turun, menurunkan, hal turun, proses penurunan, dan yang
diturunkan. Perlu diketahui, bahwa bahwa setiap kata mempunyai dua
fungsi makna, yakni makna dasar (harfiyah, etimologik) dan makna
termi-nonlogik (relasional). Adapun makna-makna diatas merupakan fungsi makna dasar. Sedangkan
makna relasionalnya dapat diikuti uraian berikut ini.
Az Zarqani
menjelaskan bahwa kata nuzul mempunyai makna dasar (perpindahan sesuatu dari atas ke bawah) atau (suatu gerak dari atas kebawah).
Menurutnya, dua batasan tersebut memang tidak layak diberikan untuk maksud
diturunkannya al Qur’an oleh Allah, karena keduanya hanya lebih tepat dan lazim
dipergunakan dalam hal yang berkenaan dengan tempat dan benda atau materi yang
mempunyai berat jenis (BJ) tertentu. Sedangkan al-Qur’an bukan semacam benda yang memerlukan tempat perpindahan dari
atas ke bawah. Tapi yang benar adalah memahami bahwa kata nuzul itu
bersfat majazi, yakni pengertian nuzul al-Qur’an bukan tergambar dalam wujud perpindahannya al-Qur’an, atau al-Qur’an itu turun dari atas ke
bawah, tetapi harus di pahami sebagai pengetahuan bahwa al-Qur’an telah diberitakan oleh
Allah SWT.
kepada penghuni langit dan bumi. Disini terkandung maksud bahwa nuzul harus dita’wilkan dengan
kata i’lam yang berarti pemberitahuan atau
pengajaran. Maka nuzul al-Qur’an berarti proses pemberitaan atau
penyampaian ajaran al-Qur’an yang terkandung di dalamnya.
Pada banyak tempat dalam al-Qur'an ditemukan ayat-ayat
yang memuat lafaz al-Inzal dan al-Tanzil serta
derivasinya. Syahrur yang telah bersinggungan dengan teori
al-Jurjani yang menolak sinonimitas dalam al-Qur'an, meletakkan teori al-Laa Taraduf
ini sebagai landasan tesisnya dan melakukan pembuktian untuk menarik kesimpulan
bahwa kata-kata yang berakar dari al-Inzal dan al-Tanzil tidak
bisa diperlakukan dengan satu pemaknaan yang sama. Bertolak dari titik ini
Syahrur berupaya menyelesaikan problem pemaknaan al-Inzal dan al-Tanzil dengan
memposisikan keduanya pada pemaknaan yang berbeda. Menurutnya perbedaan ini
menjadi sangat penting karena merupakan kunci yang akan membuka gerbang
pemahaman al-Kitab yang tidak bisa dipisahkan dari kedua sisinya, al-Nubuwwah dan al-Risalah.
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$# ÇÊÈ
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR y7øn=tã tb#uäöà)ø9$# WxÍ\s? ÇËÌÈ
ã@Í\s? É=»tGÅ3ø9$# z`ÏB «!$# ÍÍyèø9$# ÉOÅ3ptø:$# ÇËÈ
Al-Inzal dan al-Tanzil pada ayat-ayat di atas
masing-masing mempunyai makna yang spesifik. Syahrur berupaya menemukan
perbedaan makna antara al-Inzal dan al-Tanzil dengan mengawali
pelacakan leksikal dari suatu akar kata yang mengalami penambahan hamzah dan tadl'if
yang keduanya berfungsi untuk melahirkan makna ta'addi (transitif).
Secara aplikatif fungsi ini terkandung juga pada kata al-Balagh atau al-Tabligh dan al-Iblagh yang
kemudian dianalogikan olehnya pada al-Inzal dan al-Tanzil. untuk mendekatkan adanya kesamaan
perbedaan makna antara keduanya.
b.
Pengertian
Nuzul Al-Qur’an dan Kaitnya dengan Wahyu
Kata Nuzul
Al-Quran merupakan gabungan dari dua kata, yang dalam bahasa arab susunan
semacam ini desebut dengan istilah tarkib idhofi dan dalam
bahasa indonesia biasa diartikan dengan turunnya al-Quran.[13]
Sedang nuzul
al-Qur’an menurut jumhur ulama adalah proses penurunan ayat al-Qur’an secara
keseluruhan ke bait al-izza dari langit dunia, kemudian baru diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW., secara berangsur angsur oleh malaikat Jibril, dalam kurun
waktu dua puluh tiga tahun.[14] Dalam
riwayat Ibnu abbas diterangkan bahwa al-Qur’an diturunkan pada malam lail
al-Qadar.
c.
Pengertian Lauh
Mahfuz Baitul Izza serta Malaikat Jibril dalam Kaitan Pewahyuan/ Nuzl Al-Qur’an
Lauh
Mahfuzh (لَوْحٍ مَحْفُوظٍ)
adalah kitab tempat Allah menuliskan segala seluruh catatan kejadian di alam
semesta. Lauh Mahfuzh disebut di dalam Al-Qur'an sebanyak 13 kali diantaranya
adalah dalam surah Az-Zukhruf 43: 4, Qaf 50: 4, An-Naml 27: 75 dan lainnya.
Beberapa sebutan lain dari lauh mahfudz dalam al-Qur’an adalah umul kitaab,
kitaab al-mubin, dan kitaab al-maknuun.
Terkait
pengertian bait al-izza penulis tidak menemukan defenisi yang psesifik tentang
bait al-izza, namun ada beberapa riwayat yang menjelaskan seperti Imam al
Nasa’i dari ‘Ikrimah dari Ibn Abbas, bahwa: Al-Qur’an diturunkan secara
keseluruhan sekali ke langit dunia pada malam al-Qadr. Kemudian diturunkan
kedalam dua puluh tahun
Dengan demikian hemat
penulis bahwa bait al-izza adalah tempat penurunan al-Qur’an yang ke dua
setelah lauh mahfuz, baru yang ke tiga adalah penurunan al-Qur’an oleh malaikat
Jibril as., penurunanya yang ketiga merupakan tahap terakhir dimana dari
penurunan yang ketiga ini tersebar sinar di dunia dan hidayah Allah sampai
kepada makhluk. Penurunan ini melalui malaikat Jibril yang membawanya
turun ke dalam hati Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut sebagaimana
termaktub dalam QS. Syu’ara 193-195
tAttR ÏmÎ/ ßyr9$# ßûüÏBF{$# ÇÊÒÌÈ 4n?tã y7Î7ù=s% tbqä3tGÏ9 z`ÏB tûïÍÉZßJø9$# ÇÊÒÍÈ Ab$|¡Î=Î/ <cÎ1ttã &ûüÎ7B ÇÊÒÎÈ
“Dia
dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan
bahasa Arab yang jelas.”
d.
Nuzul
al-Qur’an Secara Berangsur Angsur dengan Bahasa Arab (tanjim/munajjaman)
kepada Nabi dan hikmahnya
Al-Qur’an
adalah sumber
tujuan paling utama dalam ajaran Islam. Allah SWT menurunkannya kepada Nabi
Muhammad SAW., untuk disampaikan kepada umat manusia.
Hakikat diturunkannya al-Qur’an adalah menjadi acuan moral secara universal
bagi umat manusia untuk memecahkan problem sosial yang timbul ditengah-tengah
masyarakat. Oleh karenanya, al-Quzr’an secara kategoris dan tematik,
dihadirkan untuk menjawab berbagai problem aktual yang dihadapi
masyarakat sesuai dengan konteks dan dinamika sejarahnya. Karena itu, masuk
akal jika para mufasir sepakat bahwa prosesi penurunan al-Qur’an ke muka bumi dilakukan oleh Allah
SWT. secara berangsur-angsur (gradual), tidak sekaligus, disesuaikan
dengan kapasitas intelektual dan konteks masalah yang dihadapi manusia.
Graduasi penurunan al-Qur’an menujukan tingkat kearifan dan
kebesaran Allah SWT., sekaligus membuktikan bahwa pewahyuan total pada satu
waktu adalah sesuatu yang dikatakan mustahil, karena bertentangan dengan fitrah
manusia sebagai makhluk yang dho’if (lemah)
Al-Qur’an tidak diturunkan kepada
Rasulullah SAW. sekaligus satu kitab, tetapi secara berangsur-angsur,
surat-persurat dan ayat-perayat. Sebagaimana yang kita ketahui segala sesuatu
yang Allah kehendaki itu mengandung hikmah dan memiliki tujuan. Diantara hikmah
atau tujuannya al-Qur’an diturunkan secara
berangsur-angsur sebagai berikut:
1) Untuk menguatkan hati Nabi
Muhammad SAW.
Allah SWT berfirman dalam surat al-furqon ayat 32:
tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. wöqs9 tAÌhçR Ïmøn=tã ãb#uäöà)ø9$# \'s#÷Häd ZoyÏnºur 4 y7Ï9ºx2 |MÎm7s[ãZÏ9 ¾ÏmÎ/ x8y#xsèù ( çm»oYù=¨?uur WxÏ?ös? ÇÌËÈ
“Berkatalah orang-orang yang kafir : “Mengapa Al-Qur’an itu
tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya kami perkuat
hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar)”.
Ayat diatas menerangkan bahwa Allah memang
sengaja menurunkan al-Qur’an secara berangsur-angsur. Tidak turun langsung
berbentuk satu kitab dengan tujuan untuk meneguhkan hati Nabi SAW.. Sebab dengan turunnya wahyu
secara bertahap menurut peristiwa, kondisi, dan situasi yang mengiringinya,
tentu hal itu lebih sangat kuat menancap dan sangat terkesan di hati sang
penerima wahyu tersebut, yakni Nabi Muhammad. Dengan begitu turunnya malaikat
kepada beliau juga lebih sering, yang tentunya akan membawa dampak psikologis
kepada beliau; terbaharui semangatnya dalam mengemban risalah dari sisi Allah.
Beliau tentunya juga sangat bergembira dengan kegembiraan yang sulit
diungkapkan dengan kata-kata.
2) Untuk menantang orang-orang kafir
yang mengingkari al-Qur’an
Allah menantang orang-orang
kafir untuk membuat satu surat saja yang sebanding dengannya. Dan ternyata
mereka tidak sanggup membuat satu surat saja yang seperti al-Qur’an, apalagi
membuat langsung satu kitab.
3. Supaya mudah dihafal dan dipahami
Dengan turunnya al-Qur’an secara
berangsur-angsur, sangatlah mudah bagi manusia untuk menghafal serta memahami
maknanya. Lebih-lebih bagi orang-orang yang buta huruf seperti orang-orang arab
pada saat itu; al-Qur’an turun secara berangsur-angsur tentu sangat menolong
mereka dalam menghafal serta memahami ayat-ayatnya. Memang, ayat-ayat al-Qur’an
begitu turun oleh para sahabat langsung dihafalkan dengan baik, dipahami
maknanya, lantas dipraktekkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Itulah
sebabnya Umar bin Khattab pernah berkata: “Pelajarilah Al-Qur’an lima ayat-lima
ayat. Karena Jibril biasa turun membawa Qur’an kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi wa
Sallam lima ayat-lima ayat”. (Hadist Riwayat Baihaqi)
4. Supaya orang-orang mukmin
antusias dalam menerima Qur’an dan giat mengamalkannya
Kaum muslimin waktu itu memang senantiasa
menginginkan serta merindukan turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Apalagi pada saat
ada peristiwa yang sangat menuntut penyelesaian wahyu; seperti ayat-ayat
mengenai kabar bohong yang disebarkan oleh kaum munafik untuk memfitnah ummul
mukminin Aisyah radiyallahu’anha, dan ayat-ayat tentang li’an.
5. Mengiringi
kejadian-kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan suatu hukum.
Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur,yakni
dimulai dari masalah-masalah yang sangat penting kemudian menyusul
masalah-masalah yang penting. Nah, karena masalah yang sangat pokok dalam Islam
adalah masalah Iman, maka pertama kali yang diprioritaskan oleh Al-Qur’an ialah
tentang keimanan kepada Allah, malaikat, iman kepada kitab-kitabnya, para
rasulnya, iman kepada hari akhir, kebangkitan dari kubur, surga dan neraka.
Setelah
akidah Islamiyah itu tumbuh dan mengakar di hati, baru Allah menurunkan
ayat-ayat yang memerintah berakhlak yang baik dan mencegah perbuatan keji dan
mungkar untuk membasmi kejahatan serta kerusakan sampai ke akarnya. Juga ayat-ayat yang menerangkan
halal haram pada makanan, minuman, harta benda, kehormatan dan hukum syari’ah
lainnya.
Begitulah
al-Qur’an diturunkan sesuai dengan kejadian-kejadian yang mengiringi perjalanan
jihad panjang kaum muslimin dalam memperjuangkan agama Allah di muka bumi. Dan ayat-ayat itu tak henti-henti
memotivasi mereka dalam perjuangan ini.
e.
Nuzul
al-Qur’an dengan Lail Al-Qadar
Ibnu Abbas
meriwayatkan bahwa al-Qur’an diturunkan
secara utuh ke langit dunia pada malam lail al-Qadar, bulan Ramadhan.
f.
Ayat-ayat Pertama
dan Terakhir Diturunkan
Terdapat beberapa pendapat mengenai apakah yang
mula-mula diturunkan mengenai al-Qur ,an :
a. Jumhur ulama pendapat yang paling rajih atau
sahih yaitu yang pertama diturunkan ialah lima ayat
pertama surah al-‘Alaq berdasarkan riwayat ‘Aisyah yang dicatat oleh
Imam Bukhari, Muslim dan al-Hakim dalam kitab-kitab hadis mereka.
Aisyah r.a. menyatakan: “Sesungguhnya permulaan wahyu datang kepada Rasulullah
SAW. melalui mimpi yang benar di waktu tidur. Mimpi itu jelas dan terang
bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian dia gemar menyendiri dan pergi ke gua
Hira. untuk beribadah beberapa malam dengan membawa bekal. Sesudah kehabisan
bekal, beliau kembali kepada isterinya Khadijah r.a., maka Khadijah pun
membekalinya seperti bekal terdahulu sehingga beliau didatangi dengan suatu
kebenaran (wahyu) di gua Hira’ tersebut, apabila seorang malaikat (Jibril a.s.)
datang kepadanya dan mengatakan: “Bacalah!” Rasulullah menceritakan, maka aku
pun menjawab: “Aku tidak tahu membaca.” Malaikat tersebut kemudian memeluk-ku
sehingga aku merasa sesak nafas, kemudian aku dilepaskannya sambil berkata
lagi: “Bacalah!” Maka aku pun menjawab: “Aku tidak tahu membaca.” Lalu dia
memeluk-ku sampai aku rasa sesak nafas dan dilepaskannya sambil berkata:
“Bacalah!” Aku menjawab: “Aku tidak tahu membaca.” Maka dia memeluk-ku buat
ketiga kalinya seraya berkata: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang
menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu yang
Maha Pemurah! Yang mengajar dengan perantaraan kalam dan mengajarkan manusia
apa yang tidak diketahuinya”. Setelah berlaku peristiwa itu kembalilah
Rasulullah SAW. kepada isterinya Khadijah (membawa ayat-ayat ini) dengan tubuh
menggigil ... ”.
Imam-imam yang lain seperti al-Hakim dalam
al-Mustadrak, al-Baihaqi dalam al-Dala’il dan al-Tabrani dalam al-Kabir
mengesahkan ayat tersebut adalah yang pertama diturunkan.
b. Pendapat lain mengatakan Surah
al-Muddatstsir yang pertama kali diturunkan berdasarkan hadis yang diriwayatkan
oleh Jabir bin ‘Abdullah seorang sahabat. Daripada Abu Salamah bin Abdul
Rahman, dia berkata: “Aku telah bertanya kepada Jabir bin ‘Abdullah: Yang
manakah di antara al-Qur ,an mula-mula diturunkan? Jabir menjawab,” يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
c. Sebahagian ulama tabiin seperti
al-Dhahhak bin Muzahim berpendapat ayat pertama ialah Bismillah. Dia menyebut
‘Abdullah bin ‘Abbas pernah berkata: Perkara pertama yang diturunkan oleh malaikat
Jibril a.s. kepada Rasulullah SAW dengan beliau mengatakan, “Wahai Muhammad,
aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui daripada
Syaitan yang dilaknat, dan katakanlah: Bismillahir Rahmanir Rahim (Dengan Nama
Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.)
Berbagai
pendapat mengenai yang terakhir diturunkan tetapi semua pendapat ini tidak
mengandung sesuatu yang dapat disandarkan kepada Rasulullah SAW., malah
masing-masing merupakan ijtihad atau dugaan. al-Qadhi Abu Bakar mengatakan
mungkin mereka memberitahu apa yang terakhir kali didengar oleh mereka
kepada Rasulullah SAW ketika beliau hampir wafat. Antara
pendapat tersebut ialah.
1. Pendapat ‘Aisyah.
Jubayr bin Nufayl berkata, “Aku
pergi menemui ‘Aisyah, yang bertanya kepadaku: Adakah kamu membaca Surah
al-Ma’idah? Aku
katakan Ya. Dia berkata: Inilah Surah terakhir yang diturunkan”
2. Pendapat ‘Abdullah bin Amru bin
al-‘As
Abu
Abdul Rahman al-Halabi mendengar ‘abdullah bin Amru berkata: Surah
terakhir diturunkan ialah Surah al-Ma’idah.Ayat 3.
3. Pendapat ‘Umar bin-Khattab
Abu Sa’id
al- Khudry meriwayatkan kepada ‘Umar bin-Khatab yang
memberitahu ayat terakhir diturunkan ialah pengharaman riba’ (al-Baqarah:275)
dan Rasulullah SAW. wafat beberapa hari selepas itu dan perkara riba’ tersebut
tidak tertinggal tanpa penjelasan.
g.
Pengulangan
(tikrar) pada Proses Turunya Ayat atau Surat, serta Contohnya.
Dari aspek etimologi al-tikrar merupakan bentuk infinitif (masdar)
dari asal kata كرر (Karrara ) yang berarti mengulangi.[15]
dapun menurut istilah, Ibnu Atsir mendefinisakan al-tikrar adalah:
Sebuah lafadz yang menunjukkan kepada suatu makna dengan berulang-ulang[16]
Diantara pentingnya tikrar dalam proses penurunan wahyu adalah:
a.
Menganjurkan manusia agar mentadabburi
al-Qur`an lalu kemudian mengambil ibrah dari pengulangan ayat tersebut. Seperti
pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang kekuasaan Allah dari penciptaan langit,
bumi angkasa raya dan sebagainya. Seperti pada surat al-Syua`ra ayat 8 dan 9
yang bunyi ayatnya adalah:
$¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ZptUy ( $tBur tb%x. NèdçsYø.r& tûüÏZÏB÷sB ÇÑÈ ¨bÎ)ur y7/u uqßgs9 âÍyèø9$# ãLìÏm§9$# ÇÒÈ
Ayat ini diulangi sebanyak delapan
kali;
c Pengkukuhan eksistensi Tuhan yang memilki alam semesta. Seperti pada surat
al-Nisa ayat 131 dan 132;
¬!ur $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 ôs)s9ur $uZø¢¹ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNà6Î=ö6s% öNä.$Î)ur Èbr& (#qà)®?$# ©!$# 4 bÎ)ur (#rãàÿõ3s? ¨bÎ*sù ¬! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 tb%x.ur ª!$# $ÏZxî #YÏHxq ÇÊÌÊÈ ¬!ur $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 4s"x.ur «!$$Î/ ¸xÏ.ur ÇÊÌËÈ
d. Pengkhususan.
Seperti pengulangan pada lafazd الناس))
sebanyak dua kali pada surat Ghafir ayat 61. Pemgkususan ini diperuntukan
kepada manusia dari makhluk yang lainnya dengan kekufuran mereka pada
nikmat-nikmat Allah;
e. Celaan. Seperti
pengulangan pada ayat (فبأي الاء
ربكما تكذبان ) sebanyak 30 kali.
f. Ancaman. Seperti
pengulangan ayat (ويل يومئذ للمكذبين) pada surat al-Mursalat.
D.
Al-Qur’an Diturunkan dalam Tujuh Huruf
a.
Pengertian
Tujuh Huruf
Tidak terdapat nas sarih
yang menjelaskan maksud dari sab’at ahruf. Sehingga menjadi hal yang lumrah
kalau para ulama,-berdasarkan ijtihadnya masing-masing, berbeda pendapat dalam
menafsirkan pengertiannya. Ibn Hibban al-Busti (w. 354 H) sebagaimana dikutip
al-Suyuti mengatakan bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini sampai tiga puluh
lima pendapat. Sementara al-Zarqani dalam kitabnya hanya menampilkan sebelas
pendapat secara detail dari perbedaan-perbedaan ulama tersebut. Perbedaan ulama
mengenai pengertian sab’at ahruf ini tidak berasal dari tingkatan kualifikasi
mereka atas hadis-hadis tentang tema dimaksud.
Perbedaan itu justru muncul dari lafaz sab’at dan ahruf yang masuk kategori
lafaz-lafaz musytarak, yaitu lafaz-lafaz yang mempunyai banyak kemungkinan
arti, sehingga memungkinkan dan mengakomodasi segala jenis penafsiran. Selain itu juga
disebabkan adanya fenomena historis tentang periwayatan bacaan al-Qur’an yang
memang beragam.
b.
Hadits tentang Al-Qur’an Diturunkan dalam Tujuh Huruf
Hadits-hadits inilah
yang menjadi landasan kuat bagi ulama tentang adanya gagasan pewahyuan Al-Quran
dalam tujuh huruf.
- yang
terkenal dari berbagai hadits ini adalah riwayat dari Umar bin Khattab dan
Hisyam bin Hakam berikut ini: Dari Miswar bin Makhramah dan Abdur Rahman
bin Al-Qari bahwa keduanya mendengar Umar bin Khattab berkata: “Aku
berjalan melewati Hisyam bin Hakam bin Hizam yang tengah membaca Al-Furqan
pada masa Rasulullah SAW. Lalu dengan cermat kudengarkan bacaannya. Dia
membaca dalam dialek yang banyak, yang tidak pernah dibacakan Rasulullah
kepadaku. Hampir saja kuserang dia dalam shalatnya, tetapi aku bersabar
hingga ia menyudahi shalatnya, kemudian aku tarik bajunya dan menanyainya:
“Siapa yang membacakan kepadamu surat yang kudengar tadi?” jawabnya: “Rasulullah
yang membacakannya kepadaku.” Aku berkata: “Bohong kamu! Sesungguhnya
Rasulullah telah membacakannya kepadaku lain dari yang kamu bacakan.” Lalu
aku bawa dia ke Rasulullah dan mengadukannya: “Sesungguhnya aku telah
mendengar orang ini membaca surat Al-Furqan dalam ahruf yang
tidak pernah anda bacakan kepadaku.” Maka Rasulullah berkata: “Lepaskan
dia, bacalah Hisyam!” Lalu Hisyam membaca dengan bacaannya yang kudengar
tadi. Kemudian Rasulullah Bersabda: “Demikianlah surat itu diturunkan.”
Kemudian beliau berkata: “Bacalah wahai Umar!” Maka aku pun membacakan
bacaan yang pernah dibacakan Rasulullah kepadaku. Rasulullah lalu
bersabda: “Demikianlah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Quran ini
diwahyukan dalam tujuh huruf. Bacalah yang termudah darinya!”
- Demikian
diriwayatkan bahwa Ubay bin ka’b suatu ketika mendengar seseorang di dalam
sebuah masjid membaca suatu bacaan Al-Quran yang tidak dikenalnya. Ubay
menegurnya, tetapi orang lain setelah itu juga melakukan hal yang sama.
Mereka kemudian pergi menemui Rasulullah untuk mengklarifikasi
bacaan-bacaan yang berbeda dan Nabi mendengarkan bacaan-bacaan itu. Hal
ini membuat Ubay terpukul serta berkeringat dingin dan mencemaskan dirinya
sebagai seorang pembohong. Melihat kondisi Ubay, Nabi lalu menenangkannya
dan bersabda: “Hai Ubay, aku diutus untuk membacakan Al-Quran dalam satu
huruf, tetapi aku menolaknya dan meminta agar umatku diberi keringanan.
Kemudian diulangi lagi kepadaku yang kedua kali; Bacalah al Quran dengan
dua huruf. Aku pun menolak lagi dan memohon agar
umatku diberi keringanan. Lalu diulangi lagi yang ketiga kalinya: Bacalah
Al-Quran dalam tujuh huruf.
- Sementara, sejumlah
hadits lainnya mengungkapkan pewahyuan Al-Quran dalam tujuh ahruf, tetapi
tanpa merujuk kepada perselisihan tentang perbedaan bacaan di kalangan
kaum muslimin generasi pertama. Jadi Bukhori dan Muslim, misalnya,
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang berkata bahwa Nabi pernah bersabda:
“Jibril membacakan Al-Quran kepadaku dalam satu harf, tetapi aku
menolaknya. Dan aku terus memohon kepadanya agar ditambahkan, maka dia
menambahkannya hingga akhirnya mencapai tujuh huruf.
E.
Penutup
Dari uraian
makalah diatas, setidaknya ada beberapa hal yang dapat penulis simpulkan:
1.
Al-Qur’an
merupakan wahyu Allah SWT, yang khusus diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, ia
tergolong kepada wahyu, sebab ia merupakan pesan Allah SWT., yang dihujamkan ke
dalam hati Nabi Muhammad SAW., dan dengan keyakinan yang teguh bahwa itu datang
dari Allah SWT., hal tersebut yang membuat beda dengan ilham, mimpi dan lain
sebagainya;
2.
Proses
turunya al-Qur’an secara berangsur angsur mengandung berbagai macam hikmah
sekaligus jawaban atas persoalan umat;
3.
Perbedaan
dalam memahami ahruf sab’ah muncul dari kata itu sendiri, dan juga latar
belakang historis turunya ayat.
DAFTAR
PUSTAKA
(Al) Qathan, mana, Mabaahits Fii
Ulum Al-Qur’an, Surabaya: al-Hidayah, t.th
Fayid, Abdul Wahab, Al-Dakhil fii
Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Kairo: t.p, 1978
Ibrahim al-Hifnaawi,
Muhammad, Diraasat fi Al-Qur’an Al-Karim, Kairo: Daar al-Hadits, t.th
Ali Ash-Shabuni, Muhammad, Iktisar Ulum
Al-Qur’an Praktis, Jakarta: Pustaka Amani, 2001
‘Ajjaj al-Khatib, Muhammad, Ushul
al-Hadits, Damaskus: Daar al-Fiqr, 1966
Usman,Ulumul Quran ,Yogyakarta, TERAS 2009
Khadar, Sayyid
, al-Tikrar al
Uslubi fi al-Lugah al-Arabiyah, tt: Darel-Wafa, 2003
[1] Dipresentasikan Sabtu, 28 September 2014 di hadapan Dr. Risman Bustamam,
M.Ag dan mahasiswa pada Jusuran Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Ilmu Hadits dan
Hadits Program Pasca Sarjana IAIN Imam Bonjol Padang
[3] Syeikh Mana’
al-Qathan mengartikan wahyu dari segi bahasa dengan السريعة الإشارة, bisa berarti isyarat yang cepat , Mana’
al-Qathan, Mabaahits Fii Ulum Al-Qur’an, (Surabaya: al-Hidayah, t.th),
hal.32
[8] Mana’
al-Qathan, Op.cit., hal. 37
[9] Abdul Wahab
Abdul Wahab Fayid, Al-Dakhil fii Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, ( Kairo:
t.p, 1978), hal. 15
[10] Muhammad
Ibrahim al-Hifnaawi, Diraasat fi Al-Qur’an Al-Karim, (Kairo: Daar
al-Hadits, t.th), hal 13
[11] Al-Qur’an juga
berarti tertulis dalam mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir, Ali Muhammad
Ali Ash-Shabuni, Iktisar Ulum Al-Qur’an Praktis, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2001), hal.3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar